REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- mantan ketua DPR RI Ade Komarudin alias Akom menjalani pemeriksaan sebagai saksi tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pemeriksaannya, Akom mengaku sudah menjelaskan bahwa dirinya tak pernah menerima aliran dana dugaan korupsi proyek e-KTP sebesar Rp 1 miliar.
"Pada saat persidangan kan teman-teman tahu, pada saat itu hakim ada yang tanya, kemudian jaksa juga, kemudian pak Irman menyampaikan keberatan terakhir. Saya sampaikan, saya juga punya kepentingan yang sama, ini kepentingan saya agar semua clear," jelas Akom di Gedung KPK, Kamis (13/7).
Ia pun menegaskan tidak ada yang berubah dari keterangannya kepada penyidik KPK seperti saat dirinya dipanggil untuk tersangka Irman dan Sugiharto.
"Sekarang kan tersangkanya Andi Narogong, pada waktu itu saya juga menyampaikan tak kenal Andi Narogong. Tadi sama, pertanyaan tak banyak berubah dan jawabannya juga seputar itu," ujarnya.
Selain itu, penyidik KPK juga menanyakan soal sosok Andi Narogong. Namun mantan Sekretaris Fraksi Golkar, saat proyek e-KTP ini tengah dibahas di DPR, mengaku sama sekali tak mengenal pengusaha yang sudah menjadi tersangka itu.
"Artinya saya nggak kenal Andi Narogong, dan Andi Narogong nggak kenal saya. Memang nggak kenal terus saya gimana? Masa saya bilang kenal," tegasnya.
Sejauh ini, terdakwa dalam kasus itu adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Miryam S Haryani hari ini didakwa melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.