Kamis 13 Jul 2017 09:33 WIB

BNPT: AS Ingin Belajar Penanganan Terorisme dari Indonesia

Kepala BNPT, Suhardi Alius, bersama Thomas P. Bossert selaku Assistant to the US President for Homeland Security and Counterterrorism (Asisten Khusus Presiden AS untuk Keamanan Nasional dan Penanggulangan Terorisme) di Gedung Putih, Washimgton DC, Amerika Serikat pada Selasa (11/7) waktu setempat.
Foto: BNPT
Kepala BNPT, Suhardi Alius, bersama Thomas P. Bossert selaku Assistant to the US President for Homeland Security and Counterterrorism (Asisten Khusus Presiden AS untuk Keamanan Nasional dan Penanggulangan Terorisme) di Gedung Putih, Washimgton DC, Amerika Serikat pada Selasa (11/7) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Indonesia dan Amerika terus berupaya bersama-sama dalam upaya penanganan masalah terorisme. Hal tersebut terlihat saat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Suhardi Alius  melakukan pertemuan bilateral dengan Thomas P. Bossert selaku Assistant to the US President for Homeland Security and Counterterrorism (Asisten Khusus Presiden AS untuk Keamanan Nasional dan Penanggulangan Terorisme) di Gedung Putih, Washimgton DC, Amerika Serikat pada Selasa (11/7) waktu setempat. 

Kepala BNPT menjelaskan, pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Lestari Priansari Marsudi dengan Thomas P. Bossert pada bulan Juni lalu. Dimana Bossert ingin melakukan pertemuan dengan Kepala BNPT  dalam rangka untuk  menggali informasi mengenai upaya serta pengalaman Indonesia dalam menanggulangi terorisme.

“Mr. Bossert ingin tahu mengenai bagaimana pengalaman Indonesia selama ini dalam menanggulangi terorisme termasuk diantaranya mengenai tantangan dari ‘FTF (Foreign Terrorist Fighter) returnees’ baik terhadap Indonesia maupun kawasan lain, serta upaya meningkatkan kerjasama penanggulangan terrorisme antar kedua negara,” ujar Kepala BNPT, Suhardi Alius dalam pesan singkatnya Rabu (12/7) WIB usai melakukan pertemuan tersebut.

Kepada Bossert, mantan Kabareskrim Polri ini menyampaikan bahwa pentingnya upaya untuk menyeimbangkan antara penggunaan pola hard approach (pendekatan keras) dan soft approach (pendekatan lunak) dalam penanggulangan terrorisme tersebut.

“Terlebih dalam soft approach Indonesia relatif berhasil dalam program deradikalisasi, di mana teroris yang telah menjalani masa hukuman dari sebanyak 560 orang hanya 3 orang yang kembali melakukan tindakan terorisme,” ujar alumni Akpol 1985 ini menjelaskan.

Dikatakan mantan Kapolda Jawa Barat ini, program kontra-radikalisasi yang dilakukan BNPT  yakni dengan menggandeng unsur masyarakat termasuk pemuda, ‘netizen’ dan juga mantan aktivis teroris untuk melakukan counter narative telah menjadi program unggulan nasional. “Dan ini juga berjalan efektif,” kata mantan Kadiv Humas Polri ini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement