Rabu 12 Jul 2017 19:43 WIB

Fadli: Perppu Ormas Kemunduran Total Demokrasi

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua DPR Fadli Zon
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua DPR Fadli Zon

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Fadli Zon, menilai pembentukan Perppu tentang keormasan, secara substantif mengarah pada model kediktatoran gaya baru. Ia menjelaskan, semangat tersebut dapat dilihat dari beberapa hal.

"Misalnya saja, Perppu tersebut menghapuskan pasal 68 UU No.17 tahun 2013 yang mengatur ketentuan pembubaran ormas melalui mekanisme lembaga peradilan," jelas Fadli dalam keterangan pers, Rabu (12/7) sore.

Begitupun pasal 65, yang mewajibkan pemerintah untuk meminta pertimbangan hukum dari MA dalam hal penjatuhan sanksi terhadap ormas, juga dihapuskan.

Bahkan semangat persuasif dalam memberikan peringatan terhadap ormas, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 60, juga sudah ditiadakan.

Perppu tersebut juga tidak lagi mengatur peringatan berjenjang terhadap ormas yang dinilai melakukan pelanggaran. Dimana hal ini, sebelumnya diatur dalam Pasal 62 UU No.17 tahun 2013.

"Artinya, kehadiran Perppu tersebut selain memberikan kewenangan yang semakin tanpa batas kepada pemerintah, juga tidak lagi memiliki semangat untuk melakukan pembinaan terhadap ormas. Ini kemunduran total dalam demokrasi kita," jelasnya.

Fadli Zon juga mempertanyakan ihwal kegentingan dalam Perppu ini. Jika merujuk pada konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan Perppu, Perppu dikeluarkan dalam suatu kondisi kegentingan yang memaksa.

"Pertanyaannya sekarang, adakah kondisi kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah membutuhkan Perppu? Kegentingan ini harus didefinisikan secara objektif. Tidak bisa parsial. Saya memandang adanya Perppu ini akan memunculkan keresahan baru di tengah masyarakat," jelas Waketum Partai Gerindra ini.

Ia juga menjelaskan, Perppu ini syarat ancaman terhadap kebebasan berserikat yang sudah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 dan 28E. Perppu ini mengandung semangat yang sangat jauh dari semangat demokrasi.

Lebih lanjut Fadli mengungkapkan, Perppu tersebut berpotensi menjadi alat kesewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang kritis terhadap pemerintah, tanpa harus melalui mekanisme persidangan lembaga peradilan. Dan hal itu berbahaya bagi jaminan keberlangsungan kebebasan berserikat di Indonesia.

Fadli juga menekankan, menurut UU MD3 pasal 71, DPR berwenang untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap Perppu yang diajukan pemerintah. Artinya, jika berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan merugikan masyarakat, DPR memiliki dasar untuk menolak Perpu tersebut.

"Menurut saya, Perppu 'diktator' ini harus ditolak," ujar Fadli dengan tegas.

Sementara, pada 10 Juli 2017, Perppu tentang perubahan atas UU No.17 tahun 2013 tentang ormas telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Dengan hadirnya Perppu ini, terjadi perubahan sekaligus penghapusan pada beberapa pasal UU No.17 tahun 2013.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement