Selasa 11 Jul 2017 10:21 WIB

Soal Hak Angket KPK, Yusril Dianggap tak Cermat

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Kuasa Hukum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Victor Santoso Tandiasa memandang ada ketidakcermatan Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra yang mengkategorikan KPK sebagai bagian dari eksekutif, sehingga bisa diganjar dengan Hak Angket DPR.

Yusril yang hadir saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus Hak Angket KPK di DPR, Senin (10/7) menempatkan KPK bisa dikenakan sebagai subjek Gak Angket karena bagian dari eksekutif. Namun Victor menilai pernyataan Yusril yabg tidak cermat itu justru bentuk pelanggaran terhadap Pelaksanaan Suatu UU (Pasal 79 ayat (3) UU MD3).

"Menanggapi pernyataan Prof. Yusril saat memberikan keterangan dalam forum pansus Angket KPK yang menyatakan bahwa KPK berada dalam ranah eksekutif oleh karenanya hak angket KPK tidak salah sasaran. Menurut saya, Ada ketidakcermatan dalam membaca Pasal yang mengatur tentang Hak Angket DPR," kata Victor dalam keterangan persnya, Selasa (11/7).

Ia menilai pasal 79 ayat 3 UU MD3 menyatakan bahwa, "Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".

Menurutnya jika hanya membaca ketentuan dalam pasal 79 ayat (3) memang akan menimbulkan penafsiran yang berbeda, beda khususnya terhadap frasa "pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah."

Oleh karenanya pada bagian penjelasan dijelaskan "Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, ATAU Pimpinan lembaga pemerintaham non kementerian".

Dalam penjelasan tersebut, menurutnya, ada beberapa hal yang harus dicermati. Pertama penjelasan tersebut bersifat limitatif, artinya tidak bs ditambahkan tanpa merubah penjelasan dari pasal 79 ayat (3) tersebut, dan kita dapat melihat bahwa KPK tidak disebutkan dalam penjelasan tersebut. Artinya KPK bukan subjek dari hak angket yang dimiliki oleh DPR.

Kedua lanjutnya, subjek dari pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah adalah terhadap individu bukan lembaga. Artinya pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden, Wapres sebagai pimpinan lembaga eksekutif, Menteri negara sebagai pimpinan tertinggi kementerian, Panglima TNI sebagai pimpinan tertinggi lembaga TNI, Kapolri sebagai pimpinan tertinggi POLRI, Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan, atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.

Dan ketiga, subjek dari pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah diberikan pilihan limitatif. Yaitu selain Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung adalah, "Pimpinan lembaga pemerintah non kementerian", dan dan KPK bukanlah lembaga pemerintah non kementerian, bisa dicek diwebsite kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (kemen PAN&RB).

"Sehingga apabila DPR tetap memaksakan menggunakan hak angket untuk KPK maka sebenarnya DPR telah melakukan pelanggaran terhadap suatu undang-undang yakni Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Karena telah menambahkan KPK sebagai subjek dari hak angket tanpa melakukan perubahan UU MD3," jelas praktisi Hukum dan Konstitusi ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement