REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sudah ada lebih dari 400 tanda tangan telah dikumpulkan dosen-dosen Universitas Gajah Mada (UGM) menolak Pansus Angket KPK yang digulirkan DPR. Targetnya, seribu tanda tangan akan jadi simbol penolakan atas pelemahan KPK.
"Semoga bisa membantu Indonesia membersihkan diri," kata Purwo Santoso, salah satu dosen Fisipol UGM, Senin (10/7).
Dosen Psikologi UGM, Koentjoro berpendapat, saat ini arah Pansus Angket KPK itu sudah tidak fokus. Pansus yang awalnya menyoroti kontrol penyidikan, bergeser ke BPK lalu pindak ke kasus-kasus yang telah inkrah putusannya. Selain itu, ada dua sikap Pansus Angket KPK yang dianggap tidak fokus seperti meminta anggota KPK diganti, dan menemui terpidana koruptor di LP Sukamiskin. Hal ini yang semakin membenarkan kalau Pansus Angket DPR tak memiliki arah.
"Menurut kami ini jadi tak jelas arahnya," ujar Koentjoro.
Seirama, dosen Hukum UGM Sigit Riyanto menganggap, tindakan DPR merefleksikan tentangan atas gerakan anti korupsi. Menurut Sigit, secara faktual turut semakin terlihat intervensi proses hukum mereka yang ada di peradilan.
"Tindakan mereka menemui terpidana korupsi jadi simbol mereka mendukung tindakan korupsi," kata Sigit.
Sigit menjelaskan, kalau kunjungan itu dilakukan atas dasar kemanusiaan tentu tidak menjadi suatu masalah. Tapi, kunjungan bersifat politis dan hendak dijadikan bahan politik, sehingga harus disikapi politis pula. Sementara, dosen Fisipol UGM, Wahyudi Kumototomo menekankan, gerakan yang diusung membawa tagar UGM Berintegritas. Maka itu, UGM memastikan dukungan kepada lembaga apapun yang memberikan dukungan terhadap pemberantasan korupsi.
Wahyudi mengingatkan, negara manapun tidak akan bisa maju jika tidak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah yaitu korupsi. Namun, ia menegaskan gerakan ini akan fokus menolak pelemahan KPK, bukan ribut soal siapa benar atau salah.
"Kami tidak bilang siapa salah siapa benar, yang pasti pemberantasan korupsi harus terus diupayakan," ujar Wahyudi.
Senada, dosen Fisipol lain, Muhadjir Muhammad mengatakan, sebelum ini pun sudah ada gerakan guru besar seluruh Indonesia dengan tema sama. Karenanya, ia merasa penggunaan hak angket itu tidak bisa dibiarkan karena cuma akan merugikan.
"Kalau dibiarkan yang rugi bangsa Indonesia," kata Muhadjir.