REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak negara-negara dalam G20, mengoreksi sistem neoliberal, yang menjadi paradigma ekonomi global, menjadi lebih berkeadilan. "Walhi menilai bahwa selama negara-negara anggota G20 tidak mengoreksi sistem ekonomi neoliberal yang menjadi paradigma ekonomi mereka, maka G20 tidak akan pernah berhasil mencapai pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan," kata Juru Bicara Walhi Khalisah Khalid dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (8/7).
Menurut dia, rezim pertumbuhan ekonomi global justru semakin melanggengkan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, termasuk sumber-sumber agraria. Perihal penguasaan oleh segelintir korporasi atas beragam sumber daya tersebut, lanjutnya, juga hampir selalu berujung pada konflik.
"Ketimpangan ekonomi semakin nyata dan krisis global terus terjadi, seperti krisis iklim dan krisis pangan, akibat monopoli atau penguasaan korporasi dalam sistem pangan global dan sistem produksi pertanian dunia," papar Khalisah Khalid. Ia mengutarakan pendapatnya bahwa hal tersebut terjadi karena perjanjian perdagangan internasional kerap memihak kepada kepentingan korporasi dan membatasi peran negara.
Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti Walhi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan siap menjadi benteng pertahanan UU No 32/3009 tentang Perlindungan Lingkungan. Koalisi LSM atau organisasi masyarakat sipil itu berpendapat bahwa saat ini merupakan situasi penuh keprihatinan karena korporasi yang tergabung dalam asosiasi pengusaha hutan dan perkebunan telah mengajukan gugatan uji materi terhadap UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Bagi LSM tersebut, gugatan uji materi itu merupakan upaya pelemahan hukum dan permohonan legal itu dinilai merupakan bentuk respon dari korporasi terhadap upaya penegakan hukum yang tengah coba dijalankan oleh pemerintah. Untuk itu, organisasi masyarakat sipil juga menilai bahwa upaya yang dilakukan oleh korporasi tersebut sebagai bentuk ancaman bagi upaya penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.