Kamis 06 Jul 2017 07:02 WIB

Pengamat: Pemindahan Ibu Kota Hanya Jadi Wacana Politik

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Kemacetan di Jakarta merupakan salah satu bentuk buruknya sistem transportasi di Ibu Kota Negara (ilustrasi).
Foto: Antara/Wahyu Putro
Kemacetan di Jakarta merupakan salah satu bentuk buruknya sistem transportasi di Ibu Kota Negara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta kembali disampaikan pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sayangnya rencana pindah ibu kota ini, menurut Pengamat Lingkungan dan Tata Ruang Perkotaan dari Universitas Indonesia, Aca Sugandhy seringkali hanya menjadi wacana politik.

"Yang menjadi isu pemindahan ibu kota inikan memang banyaknya hanya menjadi wacana politik ketimbang direalisasikan. Karena cita-citanya sudah dari dulu zaman Bung Karno, kemudian Pak Harto, Pak SBY dan sekarang. Cuma kan pemindahan ibu kota itu harus banyak pertimbangan," kata Aca ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (5/7).

Rencana pemindahan ibu kota negara bukan hal baru, presiden-presiden sebelum telah lama mewacanakan pemindahan ibu kota. Sejak Orde Lama di masa Presiden Soekarno muncul kota Palangkaraya menjadi pilihan. Orde Baru mewacanakan di Jonggol dan era SBY wacana kembali muncul hingga sekarang. Tapi semua it tak kunjung terwujud.

Jadi kalau sekarang kembali wacana itu dimunculkan tanpa ada realisasi dan persiapan yang matang, ia heran ada apa ini dimunculkan. Alasan dan studinya harus kuat, disertai kesiapan perundang-undangan dan pembangunan infrastruktur yang terencana. "Bukan hanya sekedar memprediksi geografis," katanya.

Karena lokasinya sentral di tengah Indonesia, jadi di Palangkaraya, Kalimantan. Padahal merujuk studi kelayakan dan infrastrukturnya ternyata belum siap dan layak. Disana itu menurutnya juga banyak kendala, seperti lahannya gambut, pasir kuarsa, hujan tropis paling tinggi, belum kebakaran hutan dan lokasi hutan lindung.

"Jadi kalau mau membuka di sana itu, sangat mahal sekali. Buktinya Bung Karno juga tidak meneruskan," terangnya.

Padahal maunya Bung Karno bisa meniru Brasil memindahkan dari Rio de Jennairo ke Brasilia. Sayangnya kondisi di Brasil berbeda dengan di Indonesia. Sekarang wacana pemindahan ibu kota ini kembali dimunculkan, seolah rencana politik ini harus diteruskan tapi tetap tidak perna jadi.

Persoalannya mau dipindah di mana. Karena memindahkan ibu kota harus ada aturan payung hukumnya berupa peraturan presiden (perpres) di masa sebelumnya perlu dicabut. Permasalahannya sekarang lokasi juga belum pasti, karena di Palangkaraya sendiri belum pasti.

Menurut dia, Palangkaraya sendiri justru sekarang sudah tidak mungkin. Kondisi-kondisi lingkungan, lahannya gambut dan pasir kuarsa. Itu konstruksi kalau dipaksakan dibangun sangat mahal sekali. Kalau memindahkan tidak bisa tanggung-tanggung, semua pemerintahan beserta keduataan besar harus ikut.

Pertanyaannya ada tidak duitnya. Karena sekarang saja, banyak proyek infrastruktur yang butuh biaya tidak sedikit. Dan bila diserahkan swasta, justru jadi persoalan, apakah ibu kota kemudian bisa milik swasta?

"Lihat ada swasta yang berusaha membuat kota baru seperti Meikarta di Kabupaten, Bekasi. Padahal ada aturan kepemilikan lahan. Apakah maunya seperti itu, lahanya dipegang swasta?" tegas salah satu pendiri Urban and Regional Development Institute ini.

Menurutnya bukan berarti pemindahan ibu kota tidak bisa dilakukan. Tapi kalau pemerintah serius mau memindahkan ibu kota, harus benar-benar diseriuskan. Bukan hanya sekedar wacana politik, dan menjadi diskusi semata namun akhirnya tidak terwujud seperti yang sudah-sudah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement