Kamis 29 Jun 2017 16:46 WIB

Menanti Apologi Polri

Reza Indragiri Amriel
Foto: Republika/ Wihdan
Reza Indragiri Amriel

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Reza Indragiri Amriel*

Film "Kau adalah Aku yang Lain" benar-benar bikin geger. Meski berdurasi hanya beberapa menit, isi film itu diperburuk oleh penayangannya pada masa sakral bagi komunitas Muslim. Tambahan lagi, film itu dipublikkan melalui akun media sosial resmi Polri, serta diperparah oleh penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Empat hal itu--isi, momen, pengunggah, dan trofi--menggumpal sedemikian sempurna, mengingatkan saya pada adegan film-film laga ketika deru tenaga dalam seorang pendekar mampu membakar jantung lawan dari kejauhan hingga gosong, berdebu, musykil bisa disehatkan seperti semula.

Percampuran empat hal di atas meneguhkan anggapan khalayak tentang kurangnya sensitivitas polisi dalam sejumlah kerjanya belakangan ini. Itulah yang selanjutnya dipandang sebagai penyebab munculnya langkah-langkah penegakan hukum yang diskriminatif dan melukai hati kalangan masyarakat tertentu.

Anggapan sedemikian rupa seakan kian terbukti ketika dibandingkan dengan perilaku Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kegiatan kehumasan TNI, baik yang dilisankan oleh pejabat terasnya maupun dipublikkan lewat akun media sosialnya, benar-benar kontras dengan kodrat tentara selaku petarung yang diprogram untuk berpikir dan bekerja dengan azas "bunuh atau terbunuh".

Saya melihat keelokan tindak-tanduk TNI itu sebagai pancaran ketulusan hati institusi tersebut. Sebagian pengamat memandangnya sebagai siasat belaka. Apa pun itu, murni dari hatikah atau pun hanya strategikah, TNI dinilai banyak kalangan dewasa ini lebih lihai merebut hati publik. TNI dirasa lebih menenteramkan dan masyarakat merasa lebih diayomi.

Sekalipun perilaku simpatik TNI diasumsikan sebagai siasat, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan itu. Serupa dengan unit humas Polri, unit-unit semacam itu diadakan tentu untuk mendesain sekaligus mengimplementasikan pendekatan-pendekatan kehumasan agar pada gilirannya bisa mendukung kerja organisasi. Bahkan dengan asumsi semacam itu, kompetisi menjadi kian menarik untuk dicermati: strategi kehumasan manakah yang lebih efektif, Polri atau TNI?

Ini jelas merupakan fenomena istimewa: "mesin perang" justru dipersepsi lebih matang membawa diri di tengah kompleksitas sosial serta lebih menghayati dimensi kemanusiaan, sedangkan "sahabat masyarakat" justru dirasa seolah tengah mengalami penumpulan kepekaan.

Segelintir personel polisi yang saya ajak bertukar pikiran berpendapat bahwa, bagi mereka, yang terpenting adalah bekerja seprofesional mungkin. Popularitas bukan sesuatu yang mereka cari. Sepintas lalu, prinsip tersebut sangat mulia. Namun ketika dikaji ulang, baru diinsafi bahwa bagi polisi mengesampingkan urgensi "merebut simpati khalayak" bisa berisiko fatal.

Runyamnya keadaan setelah Polri mempublikkan film "Kau adalah Aku yang Lain" merupakan kenyataan bahwa institusi kepolisian telah terperosok ke situasi yang paling kritis. Disebut paling kritis, karena amunisi utama polisi sesungguhnya adalah kepercayaan masyarakat. Bukan senjata api, teknologi canggih untuk melacak penjahat, maupun keterampilan bela diri. Apesnya, kepercayaan itulah yang saat ini terkesan sedang diunggis bahkan oleh institusi kepolisian sendiri. Spesifik, situasi sengkarut ini meninggalkan pekerjaan rumah nan berat bagi Polri untuk menata strategi kehumasannya.

Memang, ada kiasan bahwa polisi merupakan bayang-bayang masyarakat. Kalau cara pandang polisi dianggap bias, maka bias itu pula yang sesungguhnya menjangkiti publik. Andai polisi dinilai tebang pilih dalam kerja penegakan hukum, maka sikap diskriminatif itu juga yang sejatinya mewabah di khalayak. Pun, jika pendekatan komunikasi polisi dikatakan buruk, maka tata pergaulan masyarakat pun sebenarnya centang-perenang. Persoalannya, jika melulu mengacu pada kiasan di atas, sampai kapan polisi dan masyarakat akan terus mengambing-hitamkan satu sama lain?

Untuk mengatasinya, polisi kudu mempraktekkan ungkapan bahwa polisi adalah agen perubahan sosial. Polisi harus proaktif. Tanpa menunggu masyarakat berubah, polisi sudah harus betul-betul lebih awal mengendapkan kesantunan--berarti tindak-tanduk di hadapan publik--sebagai agenda perubahan yang paling fundamental.

Kesantunan, manakala relasi polisi-masyarakat suram seperti sekarang, sepatutnya mewujud dalam bentuk kerendahan hati. Konkretnya, betapa luhurnya jika Polri meminta maaf kepada masyarakat luas, teristimewa kepada komunitas yang di dalam film "Kau adalah Aku yang Lain" telah difiksikan secara vulgar sebagai kaum penindas. Meminta maaf karena telah secara kurang arif mengabaikan empat hal yang ditulis terdahulu--isi, waktu, pengunggah, dan penghargaan--di balik keinginan untuk menyemikan sikap toleransi dan kebinekaan.

Allahu a'lam.

*Peserta Community Policing Development Program, Jepang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement