REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir mengungkapkan, pertemuan mereka dengan Presiden Joko Widodo pada Hari Idul Fitri demi Indonesia yang kuat.
"Kita ingin Indonesia damai, bersatu, Indonesia kuat, Indonesia berdaulat dan kita ingin agar Indonesia tidak perang saudara dan tidak diperalat oleh yang ingin Indonesia pecah dan itu cita-cita kita bersama kembali ke NKRI yang utuh seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa ini," kata Bachtiar Nasir dalam konferensi pers di Ar-Rahman Qur'anic Learning (AQL) Islamic Center Jakarta, Selasa (27/6).
Bachtiar Nasir melakukan konferensi pers bersama dengan para pengurus GNPF-MUI, yaitu Wakil Ketua GNPF MUI Zaitun Rasmin, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Yusuf Matra, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Haikal Hasan, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Ahmad Sobri Lubis, serta Juru Bicara FPI Munarman.
Pertemuan GNPF-MUI dan Presiden Joko Widodo terjadi pada hari raya Lebaran 25 Juni 2017 di Istana Merdeka. Sedangkan Jokowi didampingi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Kita ingin menyampaikan pesan dalam proses menyelesaikan masalah itu harus lewat dialog, lewat silaturahim, membuka hati dan membuka diri untuk menerima masukan-masukan," tambah Bachtiar.
Meski dialog terbuka, tapi tidak menutup kemungkinan GNPF-MUI dapat melakukan aksi turun ke jalan lagi. "Semua elemen bangsa kalau ingin menyelesaikan masalah dapat berdialog, kalau ke depan kalau ada hal-hal yang diperlukan entah mahasiswa atau siapapun (melakukan aksi) kalau yang dilakukan sesuai dengan demokrasi tidak akan ada apa-apa dengan dialog tetap berjalan," kata Bachtiar.
Juru Bicara FPI, Munarman menyatakan, dialog antara GNPF-MUI dengan Presiden Joko Widodo adalah hal yang lumrah. "Dialog terjadi karena ada kesenjangan informasi kedua belah pihak, kalau tidak ada kesenjangan tidak ada dialog. Ini proses menyamakan informasi," kata Munarman.
Namun, masih ada sejumlah pekerjaan rumah GNPF-MUI yang masih harus dikerjakan. "Masih banyak PR yang perlu dikomunikasikan karena ada kesenjangan persepsi, jadi jangan sampai ada ini semacam pengawalan perkara kalau pengawalan namanya tugas tim advokasi. GNPF menampung aspirasi umat untuk disampaikan dalam kesempatan pertama dialog yang bersifat makro dan ada pertemuan pendahuluan yagn bersifat mikro, detailnya biarlah tim yang mengomunikasikan," kata Munarman.
Sehingga, ia menegaskan bahwa GNPF-MUI tetap melakukan pengawalan terhadap kasus-kasus yang menjerat ulama. "GNPF-MUI tetap akan di barisan terdepan membela dan mengawal semua persoalan-persoalan yang menimpa umat Islam, apapun itu. Itu posisi GNPF. Tidak ada GNPF meninggalkan mereka, tim kami masih bekerja terutama memprioritaskan perkara-perkara yang sudah terjadi, tidak perlu sebut kasusnya tapi kami yakinkan GNPF berdiri untuk membela dan mengawal perkara-perkara itu, tidak ada istilah meninggalkan," tegas Munarman.
Lebih lanjut, Bachtiar juga menyatakan, belum ada rencana untuk meresmikan GNPF-MUI dalam suatu organisasi. "GNPF belum berencana untuk jadi organgisai legal, belum kami rapatkan detail, tapi GNPF berkewajiban mengawal semua kasus yang terkait dengan Aksi Bela Islam," kata Bachtiar.
Seperti diketahui, GNPF-MUI menggerakkan massa untuk ikut dalam "Aksi Bela Islam" pada 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, pada 2 Desember 2012 atau 212, lalu aksi 313 pada 31 Maret 2017. Aksi tersebut dilatarbelakangi tuntutan mereka terhadap penodaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ahok akhirnya dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama terkait Surat Al Maidah ayat 51 dan divonis 2 tahun penjara. Namun, sejumlah kasus kemudian menimpa para pengurus GNPF, misalnya Polda Metro Jaya menetapkan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka kasus percakapan "Whatsapp" dan foto berkonten pornografi dengan Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein.
Sedangkan Bachtiar Nasir juga terseret dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Yayasan, Undang-undang Perbankan dan juga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait penyimpangan dana Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS). Polri telah menetapkan Ketua Yayasan KUS Adnin Armas sebagai tersangka dalam aksi 411.