REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Gerakan Nasional Pengawal Fatwa-Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada Ahad (25/6), kemarin. Dalam pertemuan tersebut, Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir mengaku telah membahas terkait masalah kriminalisasi terhadap ulama serta diskriminasi terhadap umat Muslim.
Menurut pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, meskipun telah bertemu Presiden, Kepala Negara tidak dapat mempengaruhi proses hukum kasus kriminalisasi ulama. “Meskipun Presiden kepala eksekutif, tidak bisa mempengaruhi kekuasaan penuntutan atau penyidikan dalam kasus apapun,” kata Abdul Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (27/6).
Ia menjelaskan, sebagai pemimpin dari kekuasaan di bidang eksekutif, presiden tidak bisa mempengaruhi kewenangan kekuasaan lainnya, baik legislatif maupun yudikatif. Masing-masing kekuasaan tidak bisa saling mengintervensi.
“Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman yang puncaknya di Mahkamah Agung dan jajarannya. Selain itu kekuasaan kehakiman selain kekuasaan mengadili juga meliputi kekuasaan penuntutan (kejaksaan/KPK dalam tipikor) dan kekuasaan penyidikan (polisi/KPK dalam korupsi),” jelas Abdul Fickar.
Kendati demikian, berdasarkan konstitusi UUD 1945, presiden mendapatkan kewenangan yudisial, yakni memberikan grasi untuk mengampuni narapidana yang telah dijatuhi hukuman tetap, memberikan abolisi untuk menghentikan pengusutan dan penuntutan perkata yang belum disidangkan, serta memberikan amnesti, yakni pengampunan politik.
“Jadi sepanjang ada proses hukum, Presiden tidak bisa mengintervensi untuk menghentikan. Kecuali Presiden menggunakan weweang abolisi dengan pertimbangan DPR,” ujarnya.
Saat menggelar konferensi pers, Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir mengaku membahas masalah diskriminasi terhadap Islam dan kriminalisasi ulama kepada Presiden Joko Widodo. Menurut dia, pemerintah saat ini tak merasa melakukan tindakan diskirimasi terhadap Islam dan kriminalisasi ulama.