REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arsul Sani menyarankan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mempelajari risalah-risalah pembahasan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD (MD3), khususnya pasal 205 terkait pemanggilan paksa. Hal ini berkaitan alasan Kapolri yang menolak permintaan Pansus Angket untuk menjemput paksa tersangka Miryam S Haryani jika yang bersangkutan tidak memenuhi hingga panggilan ketiga.
"Terkait keenganan Kapolri untuk membantu pemanggilan paksa, agar sebaiknya Kapolri mempelajari risalah-risalah pembahasan UU MD3 khususnya pasal 205 yang mengatur tentang panggilan paksa," ujar Arsul kepada wartawan Selasa (20/6).
Arsul mengingatkan Tito bahwa Polri juga turut didengar dan memberi masukan pada saat pembahasan rumusan pasal tersebut. Saat itu, Polri yang dipimpin oleh Kapolri Jenderal (purn) Sutarman memberi masukan kecukupan norma dan rumusan pasal 205 UU MD3.
Karenanya, ia menyarankan Kapolri Jenderal Tito yang menyebut tidak jelasnya pasal UU MD3 untuk bertanya kepada pakar dan yang pada waktu itu terlibat pembahasan, termasuk juga berdiskusi dengan mantan Kapolri Jenderal Purn Sutarman.
"Semua yang terlibat dalam pembahasan pasal 205 tersebut masih hidup baik yamg berasal dari Polri, Pemerintah maupun DPR. Jadi Pak Tito tidak akan kesulitan menelusurinya," kata Anggota Komisi III DPR RI tersebut.
Ia meyakini, pernyataan Kapolri yang menyebut rumusan pasal 205 UU MD3 tidak jelas karena ketidaktahuan Kapolri tentang rumusan pasal tersebut. Ia meyakini kalau Kapolri telah berdiskusi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pembahasan UU MD3 khususnya terkait pasal tersebut, maka Kapolri tidak akan cepat-cepat berkesimpulan demikian.
"Kesannya yang disampaikan Kapolri ini prematur, wong DPR-nya saja belum meminta secara resmi agar Polri melakukan pemanggilan paksa," kata dia.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Titi Karnavian menolak tegas permintaan pansus angket KPK untuk menjemput paksa Miryam S Haryani guna pemeriksaan di Pansus Angket KPK. Sebab, Kapolri menilai tidak ada landasan hukum yang melegalkan Polri untuk memanggil seseorang demi kepentingan DPR.
Hal ini karena jemput paksa kepolisian adalah bersifat projusticia dan didasari pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Kalau ada pemintaan dari DPR (jemput paksa) saya sampaikan kemungkinan besar tidak bisa dilaksanakan," kata Tito di Gedung KPK, Senin (19/6).