Selasa 20 Jun 2017 12:33 WIB

9 Poin Eksepsi Buni Yani, Apa Saja?

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Agus Yulianto
Buni Yani (kiri) berbincang dengan tim kuasa hukum pada sidang perdana kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat (Ilustrasi)
Foto: Antara/Agus Bebeng
Buni Yani (kiri) berbincang dengan tim kuasa hukum pada sidang perdana kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG- Penasihat hukum terdakwa Buni Yani (48 tahun) yang berjumlah 17 orang membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam sidang kedua kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan terdakwa Buni Yani (48) di Gedung Perpustakaan dan Arsip Kota Bandung, Jalan Seram (20/6). Ada sembilan poin keberatan yang disampaikan dalam sidang tersebut.

Berdasarkan pantauan, sidang dimulai pukul 09.00 WIB dengan dipimpin ketua majelis hakim M Sapto dan empat hakim lainnya. Kemudian dilanjutkan pembacaan eksepsi setebal 40 halaman yang berjalan kurang lebih sekitar 1 jam 20 menit hingga pukul 10.31 WIB. Sidang selesai sekitar pukul 10.42 WIB. Jaksa penuntut umum (JPU) berjumlah tujuh orang dengan dipimpin Andi Muhammad Taufik.

Penasihat hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, mengungkapkan sembilan poin nota keberatan itu. Kesembilan poin itu, pertama tentang kompetensi relatif Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Di mana, yang berrwenang memindahkan, mengadili dari semula PN Depok ke PN Bandung adalah Menteri Hukum HAM, bukan Mahkamah Agung (MA).

Poin kedua, yaitu penggunaan Pasal 28 Ayat 2 junto 45 Ayat 2 tentang UU ITE dalam surat dakwaan JPU melanggar asas legalitas KUHP. Poin ketiga adalah uraian dakwaan yang tunggal akan tetapi diterapkan pada dua pasal dakwaan kesatu dan kedua yang disampaikan JPU. Poin keempat katanya uraian dakwaan yang tidak jelas dalam dakwaan pertama.

Selanjutnya, poin kelima, yaitu penyusunan surat dakwaan tidak sesuai UU KUHP karena mendakwakan pasal yang tidak pernah disangkakan pada terdakwa daan tidak pernah ada dalam berkas dakwaan terdakwa. Poin keenam ketidaksesuaian antara surat uraian dakwaan kedua dan pasal yang didakwakan

Poin ketujuh adalah surat pemberitahuan mulainya penyidikan atau SPDP diterbitkan dua kali ke instansi kejaksaan yang berbeda, yaitu Kejaksaan Tinggi DKI dan Kejati Jawa Barat serta diterbitkan bukan pada awal penyidikan, melainkan di akhir.

Menurutnya, poin kedelapan, yaitu penyidikan dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan peraturan kejaksaan tentang penanganan tindak pidana umum dan tata kelola penanganan tindak pidana khusus.

Katanya, pertimbangan hukum lainnya dalam perkara Basuki T Purnama yang sudah berkuatan hukum.  “Kami berharap majelis hakim mengabulkan apa yang menjadi nota keberatan kami. Banyak hal secara aspek formal hukum acara keliru dan harus kritisi,” ungkapnya.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement