REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei teranyar soal pandangan dan pengalaman masyarakat Indonesia terhadap tindak korupsi. Survei ini mengukur Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang juga mewakili seberapa besar tingkat permisivitas masyarakat Indonesia atas korupsi.
Deputi Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah menjelaskan, tindak korupsi yang diukur dalam survei ini lebih cenderung korupsi 'kecil-kecilan' seperti aksi suap dalam pengurusan surat berharga, pemberian uang saat periode kampanye pemilu, atau tindak korupsi lain yang ditemui di masyarakat.
Dari survei yang melibatkan sampel dari 10 ribu rumah tangga di 33 provinsi dan 170 kabupaten/kota di Indonesia, lanjut Sairi, disebutkan bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup anti-korupsi. Indeks Perilaku Anti Korupsi di Indonesia menyentuh angka 3,71 dari skala nol hingga lima.
Sairi menyebutkan, capaian ini lebih tinggi dibanding IPAK yang diukur tahun 2016 lalu sebesar 3,59. Bahkan, tren anti korupsi terus menunjukkan kenaikan sejak survei ini pertama kali dilakukan pada tahun 2012 lalu.
Berturut-turut sejak 2012 hingga 2015, IPAK masyarakat Indonesia tercatat sebesar 3,55 di 2012, 3,63 di 2013, 3,61 di 2014, dan 3,59 di 2015. Pemerintah menargetkan Indeks Perilaku Anti Korupsi masyarakat Indonesia mencapai 4 pada 2019 mendatang.
"Namun, ada kalanya masyarakat bilang anti korupsi, namun mereka sendiri tetap melakukannya," ujar Sairi dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Kamis (15/6).
BPS kemudian membagi lagi indeks anti-korupsi terhadap dua hal yakni dimensi persepsi atau pendapat masyarakat atas korupsi dan dimensi pengalaman yang menunjukkan pengalaman koruptif masyarakat. Sairi melanjutkan, berdasarkan dimensi persepsi terlihat bahwa masyarakat Indonesia semakin antikorupsi.
Terlihat dari angkanya yang terus meningkat sejak 2012 hingga 2017. Namun dari segi pengalaman, terlihat bahwa masyarakat cenderung melakukan tindak korupsi yang semakin sering. Meski perilaku korupsi 'kecil-kecilan' sempat menurun sepanjang 2012 hingga 2016, namun angkanya melonjak lagi di tahun 2017.
"Artinya, ketidaksukaan masy terhadap korupsi itu tinggi. Namun pengalamannya semakin korup. Atau bahasanya, lain yang diucapkan lain yang diperbuat," ujar Sairi.
Sementara itu dilihat dari segi pendidikan, survei IPAK menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memberi sumbangan atas sikap antikorupsi. BPS menyebutkan, angka IPAK untuk SMP sebesar 3,58 (skala 0-5). Angkanya membaik untuk SMA dengan nilai 3,99 dan pendidikan di atas SMA dengan nilai 4,09.
Uniknya, angka IPAK justru melorot bila disandingkan dari sisi usia individu. Usia 40 tahun ke bawah memiliki nilai IPAK 3,71. Sedikit meningkat untuk usia 40 hingga 59 tahun dengan nilai antikorupsi 3,74. Namun, untuk usia di atas 59 tahun, IPAK-nya 'hanya' 3,62.
"Semakin tua semakin permisif terhadap korupsi. Yang muda-muda lebih anti korup dan idealis," ujar Sairi.
BPS juga membagi persepsi terhadap kebiasaan anti korupsi ke dalam tiga lingkup utama yakni keluarga, komunitas, dan publik. Di lingkup keluarga misalnya, BPS mengungkapkan data bahwa persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap istri yang menerima uang dari suami di luar kezaliman dan tanpa mempertanyakan dari mana uang tersebut berasal, mengalami peningkatan dari 52,89 persen di tahun 2015 menjadi 56,21 persen di tahun 2017.
Tak hanya itu, persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar orang tua mengajak anaknya dalam kampanye pilkada demi mendapatkan uang lebih banyak meningkat dari 64,57 persen di tahun 2015 menjadi 68,43 persen di tahun 2017.
Dari sisi lingkup komunitas, persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar pemebrian uang kepada ketua RT/RW/Kades/Lurah ketika melaksanakan hajatan meningkat dari 22,19 persen di tahun 2015 ke 35,77 persen di tahun 2017. Sementara dari sisi publik, persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar perilaku memberi uang kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi KTP dan KK meningkat dari 41,4 persen di tahun 2015 menjadi 48,54 persen di tahun 2017.