REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menyatakan kualitas demokrasi di Indonesia masih berada di ranking bawah di dunia.
"Kita merupakan negara demokrasi terbesar ketiga, tapi dari kualitas masih ranking bawah maka perlu peran DKPP untuk memperbaikinya," kata Jimly usai menghadiri pelantikan Anggota DKPP periode 2017-2022 di Istana Negara Jakarta, Senin (12/6).
Ia menilai sejumlah sosok yang dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Anggota DKPP merupakan pilihan yang tepat. Mereka diharapkan dapat memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.
Jimly menyebutkan dengan pelantikan tujuh anggota DKPP yang baru, berakhirlah tugas dirinya dan anggota lainnya di lembaga itu.
"Dari yang dilantik hari ini perlu saya perkenalkan dua ex officio, satu dari KPU yaitu Hasyim Ashari, satu ex officio dari Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo," kata Jimly.
Lima anggota DKPP lain adalah unsur tokoh masyarakat yaitu Ida Budhiati, Hardjono, Muhammad, Alfitra Salam, dan Teguh Prasetyo.
"Kami optimistis DKPP akan memelihara yang sudah baik dan meningkatkan yang sudah ada karena kita akan menghadapi Pilkada 2018 yang jumlahnya lebih banyak dan daerahnya kompeks semua, ada 17 gubernur, dan yang lebih penting persiapan 2019, yaitu pemilu serentak pertama dalam sejarah RI," kata dia.
Ia menyebutkan berdasar UU yang baru, baik KPU, Bawalsu maupun DKPP, memiliki kedudukan yang lebih kuat.
"Misal DKPP akan punya sekretariat baru, Bawaslu juga akan punya status final di tingkat kabupaten, itu permanen. Baik KPU, Bawaslu, DKPP akan kuat kedudukannya," katanya.
Ia berharap apa yang dirintis selama lima tahun terakhir bisa terus ditingkatkan dan semakin baik.
Jimly juga berpesan agar anggota DKPP baru menjaga fungsi dan peran DKPP. "Jangan tergantung orang, kita membangun negeri harus melembaga, membangun negara harus terlembagakan dalam institusi, orang boleh ganti, sistem harus jalan terus," katanya.
Jimly juga mengatakan bahwa semua perkara di DKPP hingga 8 Juni 2017 sudah diputus semua.
"Selama lima tahun, jumlahnya ada 1.871 teradu yang kami sidang, jumlah yang terbukti melanggar kode etik banyak sekali walapun yang tidak terbukti juga banyak," kata Jimly.