REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril menyoroti data Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menunjukkan rangkap jabatan memasuki fase darurat. Menurutnya, pemerintah kecolongan terhadap rangkap jabatan yang dilakukan pelayan publik.
"Presiden (Joko Widodo) mestinya kecolongan. Di PP Manajemen PNS tak masukkan itu (larangan rangkap jabatan)," kata Oce dalam diskusi Rangkap Jabatan PNS dan Komisaris BUMN: Menyoal Profesionalisme ASN di Jakarta, Selasa (6/6).
Sebelumnya, ORI menemukan ada 222 komisari pada 144 unit yang merangkap jabatan sebagai pelayan publik. Artinya, sebanyak 41 persen dari total 542 komisaris merupakan pelayan publik.
Oce menyadari, rangkap jabatan pada komisaris adalah rahasia umum. Salah satunya, karena adanya kedekatan politik. Menurutnya, ada celah hukum pengaturan jabatan pelayan publik.
Ia mempertanyakan, apakah semua komisaris yang menjabat memiliki keahlian sesuai jabatannya. Sebab, jabatan komisaris umumnya karena adaya kedekatan politik. "Hal semacam ini, peraturan dibuat untuk basa-basi saja. Penunjukan komisaris main telpon, lobi, bagi-bagi jatah," jelasnya.
Oce berujar aturan larangan rangkap jabatan perlu ditegakkan. Dalam teori hukum, harus ada kejelasan antara jabatan politik dan profesional (karir). "Jabatan profesional untuk mencari seorang profesional, maka harus dilakukan cara yang tepat," ujar dia.
Ia menyadari perdebatan rangkap jabatan merupakan diskusi lama. Namun, apabila komisaris masih jabatan politik, maka BUMN tetap mengidap penyakit sama. Menurutnya, komisaris harus profesional yang mempunyai kapasitas dan kemampuan.