REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengeboman di Halte Bus Transjakarta Kampung Melayu mendorong DPR mempercepat penyelesaian pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme.
Anggota Panja RUU Terorisme Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan ingin undang-undang ini diselesaikan sehingga bisa memperkuat upaya deteksi dini dan pencegahan aksi terorisme. "Dijadwalkan selesai sebelum November 2017," kata Bobby kepada Republika pada Senin (29/5).
Bobby menyatakan pembahasan RUU terorisme saat ini sudah tahap pembahasan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) di Panja DPR. Namun, menurut dia, tantangan pembehasan revisi UU Terorisme bukan hanya terkait DIM. "Tapi sistematika perubahan-perubahan UU ini," kata dia.
Bobby menjelaskan kesulitan dalam hal menyempurnakan struktur, sinkronisasi dan harmonisasi revisi UU itu karena pembahasan sejumlah poin berlangsung sangat alot. Dia mencontohkan, poin tentang definisi terorisme yang selama ini dianggap sederhana justru sangat alot dalam pembahasan.
"Kelihatannya mudah, tapi di seluruh dunia (definisi terorisme) ternyata berbeda-beda," kata Bobby.
Ia melanjutkan, poin terkait perpanjangan penahanan preventif atau pencegahan terorisme dari semula tujuh hari menjadi 30 hari juga belum menemui kesepakatan. Sebagian pihak menilai poin perpanjangan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM).
Pembahasan lainnya di antaranya antisipasi anak-anak yang terlibat teroris apakah merujuk pada Undang-undang Sistem Peradilan anak, wacana penguatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam aturan tersendiri, serta peran TNI dalam pemberantasan terorisme.
Karena itu, Bobby menyatakan, poin-poin itu memerlukan kajian referensi, masukan publik yang luas dari para pemangku kepentingan atau stakeholder. "Sehingga kita yakinkan UU ini bisa efektif tanpa mengurangi rasa keadilan dan tetap terlindungi HAM," kata dia.
Ia mengatakan, setelah DIM disampaikan ke pemerintah, Pansus akan menggelar kajian dengan mengundang stakeholder dan mengunjungi semua gugus tugas penindakan teroris.
Setelah itu, Bobby menyatakan, masing-masing fraksi mempelajari dan memberikan posisi politiknya dalam DIM. Pada waktu bersamaan, DIM juga dibahas dengan pemerintah, dari Kemenkumham, POLRI, Kejaksaan Agung, TNI.
Bobby menyatakan tahapan-tahapan tersebut tidak sesederhana menyetujui perubahan-perubahan pasal tetapi menyangkut hal detail. Misalnya, pengaturan instansi mana yang berwenang menetapkan suatu organisasi adalah orang teroris dan korban teroris agar dapat ditanggung negara.
"Sekaranglah proses politiknya. Ini yang masih memerlukan waktu. Jadi turunan dari konsekuensi perubahan pasal-pasal yang diajukan pemerintah itu," kata Bobby.
Sejumlah pihak mulai dari Presiden Joko Widodo, jajaran menteri, Kapolri mendesak agar pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diselesaikan. Desakan tersebut menguat pascaaksi teror bom bunuh diri Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu pekan lalu.
Revisi aturan dianggap mampu menjawab persoalan terorisme di Indonesia. Namun, revisi UU Terorisme yang digagas sejak 2016 hingga saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR. Khusus untuk revisi UU tersebut, DPR membentuk tim panitia khusus (pansus) dan panitia kerja (panja) RUU terorisme.