Ahad 28 May 2017 12:32 WIB

Pengamat: Kasus BPK Perkuat Isu Ada 'Permainan' dalam Opini BPK

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bilal Ramadhan
 Penyidik KPK menunjukkan barang bukti hasil OTT di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/5). KPK menetapkan empat tersangka (dua dari BPK dan dua dari Kemendes) dari tujuh orang yang diamankan dari OTT KPK pada Jumat (26/5)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti hasil OTT di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/5). KPK menetapkan empat tersangka (dua dari BPK dan dua dari Kemendes) dari tujuh orang yang diamankan dari OTT KPK pada Jumat (26/5)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatkan bahwa Operasi Tangkap tangan (OTT) antara pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan pejabat maupun auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus dijadikan momentum untuk mewujudkan mekanisme pemeriksaan keuangan yang baik dan benar.

"Selama ini ada sinyalemen bahwa opini BPK belum menggambarkan pengelolaan keuangan yang sebenarnya, dengan kasus di Kemendes maka memperkuat sinyalemen tersebut," ujar Suparji kepada Republika, Ahad (28/5).

Suparji Ahmad menambahkan KPK dan aparat penegak hukum yang lain perlu menelusuri dugaan penyimpangan di kementerian dan lembaga negara. "Adanya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bukan berarti sudah ada pasti tidak ada penyimpangan," katanya.

                       

Selain itu menurut Suparji, mitos jual beli opini dari BPK harus dibongkar oleh KPK. "KPK tidak boleh terpukau dengan opini BPK, tetapi harus mencari kebenaran material," ucapnya.

                       

"Pada sisi BPK, kasus ini menghancurkan kredibilitas lembaga karena sebagai auditor negara ternyata tidak bisa mencerminkan cara kerja yg profesional dan berintegritas," imbuh Suparji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement