REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Moermahadi Soerja Djanegara mengaku bahwa lembaganya sudah memiliki sistem untuk menjaga kualitas pemeriksaan, namun ia pun mengakui bahwa sistem itu belum dapat menghilangkan kolusi.
"Kasus ini pembelajaran buat BPK, kita punya sistem tapi kenapa bisa dilanggar? Sebagus apapaun sistem kalau ada kolusi ya tidak bisa baru kita ketahui kalau ada tangkap tangan," kata Moermahadi dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu (27/5).
Moermahadi menyampaikan hal itu terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan terhadap auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri dan Irjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito pada Jumat (26/5).
"Kita sudah lakukan 'qualitiy control' dan 'quality inssurance', tapi proses yang ditemukan dari kejadian ini, kita tidak tahu seperti apa. Hingga ada keputusan berkekuatan hukum di persidangan baru kita tahu kenapa hal terjadi, kalau sekarang kita tidak tahu, kita tunggu dari penyidikan," tambah Moermahadi.
Suap itu diduga dilakukan oleh Sugito kepada Rochmadi dan timnya dengan total nilai komitmen Rp 240 juta untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap anggaran Kemendes PDTT.
"Saya ingin jelaskan bagaimana proses pemberian opini dalam kementerian. Jadi kita melakukan pemeriksaan dilakukan tim. Tim terdiri anggota tim, ketua tim sampai penanggung jawab. Proses yang dilakukan dibangun dari hasil pemeriksaan, temuan pemeriksaan seperti apa. Dari temuan apakah temuan mempengaruhi pada opini atas laporan keuangan suatu kementerian," ungkap Moermahadi.
Kriterianya yang ditentukan BPK dalam pemeriksaan adalah (1) apakah laporan keuangan sesuai standar akuntasi, (2) apakah ada kecukupan bukti, (3) apakah sesuai dengan sistem pengendalian internal dan (4) bagaimana ketaatan terhadap perundang-undangan.
"Dari temuan, tim melihat apakah itu berpengaruh terhadap secara materil terhadap laporan keuangan atau tidak. Kita biasanya memakai 'materiality' yang disusun tim sampai proses pembahasan di penanggungjawab," tutur Moermahadi.
Secara khusus untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016 yang mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), menurut Moermahadi ditetapkan dalam sidang badan yang dihadiri oleh 9 pimpinan BPK.
"Dari LKPP keseluruhan dilakukan pembahasan diikuti semua anggota. Kita bersembilan termasuk semua penanggung jawab dibahas satu per satu dari kementerian, kenapa dia diberi 'disclamer' atau WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Masing-masing tim mempresentasikan baru kemudian di sidang badan akan melihat apakah standar akuntasi atau standar audit," ucap Moermahadi.
Meski Kemendes PDTT akhirnya mendapatkan predikat WTP untuk laporan keuangan tahun 2016 atau meningkat dari tahun 2015 yang mendapatkan opini WDP, opini WTP untuk anggaran 2016 bisa berubah.
"Apakah opini bisa berubah? Kita akan lihat dari hasilnya tapi teorinya kalau ada kesalahan proses pemberian auditnya dan tidak memenuhi standar auditnya bisa saja namanya 'restatement' tapi kita tidak tahu apakah karena itu, karena yang kita lakukan menurut saya 'on track' secara keputusan di sidang badan," ujar Moermahadi.
Pada 2014 lalu, laporan keuangan Kemendes PDTT bahkan mendapat opini "Disclaimer" dari BPK. Dalam kasus ini, Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes Jarot Budi Prabowo diduga memberikan suap Rp 240 juta kepada auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri dan auditor BPK lain yaitu Ali Sadli agar Kemendes PDTT mendapatkan status WTP.
Di ruangan Rochmadi juga ditemukan uang Rp 1,145 miliar dan 3.000 dolar AS yang belum diketahui kaitannya dengan kasus tersebut. KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu sebagai pemberi suap adalah Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes Jarot Budi Prabowo yang disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 kuhp jo pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri yang merupakan pejabat eselon 1 dan auditor BPK Ali Sadli. Keduanya disangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 atau 5 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.