REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa revisi undang-undang terorisme sangat mendesak. Hal ini diungkapkan lantaran UU yang ada sekarang hanya bisa membuat aparat menjerat pasca berjatuhannya korban jiwa.
"Ini satu bukti sebenarnya sudah sangat mendesak sekali untuk dilakukan revisi UU antiterorisme," ujar Jaksa Agung M Prasetyo di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Jumat (26/5).
Prasetyo menjelaskan UU yang ada saat ini belum mampu menindak aksi-aksi terorisme yang terus menimbulkan korban jiwa. Sehingga membuat orang terkesan bebas untuk melakukan aksi-aksi teror di Indonesia.
"Sekarang ini kan kita harus tunggu akibat dulu, setelah (ada) akibatnya baru bisa melakukan penindakan, mestinya sebelum itu harus sudah kita tindakan," katanya.
Oleh karena itu terangnya bila revisi UU terorisme sudah dilakukan maka akan banyak tindakan-tindakan pencegahan yang dapat diupayakan oleh aparat keamanan. Dengan begitu diharapkan aksi-aksi ledakan bom dapat dicegah dan korban jiwa akibat aksi tersebut tidak akan ada lagi.
Misalnya, Prasetyo mencontohkan, bila seseorang melakukan pelatihan militer untuk aksi terorisme UU belum bisa menjangkaunya. Padahal, kelompok-kelompok terorisme melakukan pelatihan-pelatihan tersebut sebagai langkah sebelum melakukan serangan.
Termasuk lanjut dia, banyak sekali warga negara Indonesia (WNI) yang meninggalkan negaranya untuk bergabung dan melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan terorisme.
"Itu kita tidak bisa apa-apa dan ini yang harus kita lakukan, pembenahan, revisi, supaya kita bisa mengantisipasi dan menindak sekaligus," kata dia.
Dengan merevisi UU terorisme, perannya sebagai lembaga kejaksaan dapat melakukan penuntutan yang mengacu pada UU tersebut. Karena tidak mungkin kata dia, jaksa dapat menciptakan hukum baru dan tidak mengacu pada UU.
"Kalau hakim dia bisa menciptakan hukum baru, kalau jaksa, polisi, tidak bisa. Dia sepenuhnya harus mengacu ke UU yang ada apa pun kondisinya, sehingga itu yang kita usulkan supaya UU anti terorisme direvisi, supaya tidak ada perbuatan yang menimbulkan akibat," jelasnya.