REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pornografi anak melalui media digital kembali terkuak. Seorang pria asal Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, bernama Agus Iswanto alias Denny Agus, melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandungnya sejak berusia dua tahun. Aksi bejat itu dipertontonkan melalui akun Skype, yang dibagikan lintas negara.
Pelaku melalui akun Skype membuat dan mentransmisikan konten foto dan video bermuatan pornografi anak di bawah umur. Kasus ini menjadi sorotan sebab pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandung dan keponakannya. Perbuatan itu disiarkan secara live streaming, serta disebarkan ke grup Whatsapp dan Telegram lintas internasional.
Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi KemenPPPA, Rini Handayani mengatakan kejadian ini merupakan kasus eksploitasi seksual terhadap anak, karena dilakukan pelaku bukan berdasarkan motif ekonomi.
Rini meyakini perbuatan ini berdampak luar biasa terhadap psikis para korban, karena rentang waktu terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual telah dilakukan oleh pelaku sejak anaknya berusia dua tahun. Sejak umur 11 tahun, korban bahkan telah ditiduri pelaku hingga kini berusia 17 tahun.
“Kementerian PPPA mengutuk dengan keras kejadian pornografi anak ini. Ini merupakan kasus cyber pornografi anak terbesar kedua di Indonesia yang berhasil diungkap. Apalagi kasus ini dilakukan oleh orang terdekat yakni ayah kandung, dimana orangtua seharusnya melindungi anak malah melakukan kejahatan seksual," ujar Rini Handayani, dalam siaran pers, Kamis (25/5).
Rini meminta penegakan hukum benar-benar dilakukan. Pelaku harus dihukum seberat-beratnya, dengan ancaman Undang-Undang RI No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman mati.
Rini menambahkan, kejahatan seksual dan eksploitasi terhadap anak melalui cyber sudah sangat mengkhawatirkan. Diperlukan upaya bersama untuk mencegah agar tidak terjadi kembali. Tidak hanya pemerintah, melainkan keluarga, pendidik, masyarakat, dan anak juga berperan.
Kemen PPPA mengimbau agar rekan sebaya anak, keluarga, dan masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan di sekitar anak. Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) harus digalakkan dan massif, terutama di daerah terpencil atau terjauh.
Ia mengapresiasi kerja kepolisian yang berhasil mengungkap kasus ini. Kemen PPPA berjanji akan mengawal proses penanganan bagi anak-anak yang menjadi korban dan memastikan anak tersebut mendapatkan layanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, dan pendampingan untuk menghilangkan trauma.
"Melalui P2TP2A pendampingan tidak hanya dilakukan kepada anak-anak yang menjadi korban tapi juga bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Melalui forum-forum anak pula akan kita perkuat agar anak bisa membentengi diri untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa,” ujar Rini.
Sementara itu, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Wahyu Hadiningrat mengungkapkan kasus tersebut telah diselidiki sejak April 2017. Komunitas ini terkuak setelah polisi mengidentifikasi seorang WNI yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak kecil melalui platform Skype.
"Kemudian kami bekerja sama dengan US Ice Homeland Security (bidang khusus dalam child pornografi di AS), di mana data internasional yang didapat itu diinformasikan ke kami, sehingga tanggal 6 Mei kami berhasil menangkap pelakunya," ujar Wahyu.