Jumat 19 May 2017 08:26 WIB
Relasi Dakwah dan Politik (10)

Semua Itu Ada Syaratnya

Syukri Wahid
Foto: istimewa
Syukri Wahid

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Syukri Wahid *)

         

Apa yang membuat pasukan Monggol atau Tartar di bawah komando Hulagu Khan begitu mudah dan beringas membumihanguskan satu persatu wilayah kekuasaan khilafah Abbasiyah. Tak ada satupun wilayah yang mereka masuk melainkan semuanya ditaklukkan dan dihancurkan termasuk ibukota Khilafah Abbasiyah di Baghdad saat itu. Parade pembantaian pasukan tersebut menjadi momok yang meruntuhkan wibawa khilafah, itulah saat dimana dalam sejarah terjadi kefakuman masa kekhilafahan selama 3 tahun.

Sampai pada akhirnya, pasukan Tartar kalah dalam suatu perang  yang sangat dahsyat yaitu perang ‘Ain jalut yang  dipimpin oleh panglima Quthuz al Muzaffar dari Mesir. Mereka adalah bangsa yang ekslusif, perawakan fisiknya seperti orang-orang Turki dan wajahnya seperti wajah bangsa Cina.

Alam yang menciptakan karakter mereka menjadi begitu keras. Secara alamiah, wilayah pegunungan yang luas membuat mereka menjadi bangsa yang merdeka dan tak tersentuh peradaban lainnya. Yyaris informasi tentang mereka tidak tercium oleh peradaban tetangganya kala itu.

Di mata pasukan Tartar, institusi khilafah sudah rapuh dan pilar-pilar utamanya sudah mulai goyah. Namun, gambaran luar seperti itu, tentunya tidak lahir dalam waktu yang singkat. Kelemahan-kelemahan internal lebih dahulu menjalar ke dalam institusi khilafah saat itu.

Kita bisa bayangkan bangunan imperium khilafah yang begitu kuat dibangun ratusan tahun, hancur hanya dalam waktu ukuran bulan saja. Dan satu-satunya daerah yang tidak dimasuki pasukan Tartar adalah Mesir kala itu, itulah ujung cerita dari dinasti Abbasiyah yang kemudian setelahnya munculah khilafah Fatmiyyah di Mesir dan juga sisa dari khilafah bani umayah di Spanyol.

Saat itu, walaupun ukuran teritorial khilafah sangat luas, namun dari pengaruh perannya melemah, nyaris pusat khilafah tak  bisa menjangkau daerah satelit kekuasaannya. Sehingga, itu mendorong beberapa khalifah Bani  Abbasiyah mengeluarkan kebijakan mengangkat sultan-sultan di daerah kekuasaan mereka.

Yang lebih tepat sebenarya cara melindungi tameng pengaruh politik khilafah yang sudah memudar. Daripada dia lepas, lebih baik memberikan otoritas kekuasaan sang khalifah kepada para sultan tersebut. Akibatnya, munculnya para sultan yang berkuasa penuh di daerahnya, melahirkan cikal bakal negara-negara bangsa yang menggerogoti institusi khilafah.

Jadi, tidak ada jaminan khilafah itu bebas dari sebab-sebab keruntuhan dan dari sebab-sebab kekalahan. Mimpi membangun khilafah ini, jangan sampai menempatkan dia sebagai barang suci nan sakral yang jauh dari kaidah kerja-kerja usaha manusia. Toh di dalamnya ada manusia yang mengelolanya, di sana ada nilai apa yang dianutnya. Di sana ada potensi yang dimilikinya, sebagaimana di sana ada godaan dan syahwat dari dalam manusia itu sendiri dan selalu ada musuh yang tak pernah lengah melihat kelemahan-kelemahan.

Jadi, ibarat performa negara khilafah, namun tenaganya sudah seperti sebuah bangsa kecil saja. Jadi, wibawa institusi khilafah tersebut sudah jatuh dan itulah yang membuat wajah kekhilafahan begitu menggoda untuk di serang pasukan Tartar.

Sedangkan bangsa Mongol, tapi mereka bermental seperti negara khilafah. Padahal, Rasulullah SAW pernah bersabda sebagaimana yang terdapat dalam HR Bukhari dan Muslim dari sahabat Jabir bin Abdullah ra. “Aku diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada seseorang sebelumku, 1. Saya diberikan kemenangan dengan rasa takut yang ditimpakan ke dalam hati para musuhku dalam jarak satu bulan perjalanan,...”.

Jadi, ini adalah muara dari seluruh faktor-faktor kekuatan dan dari seluruh syarat kelayakan nilai masih ada dan terus mengalir pada tubuh umat ini, maka dia masih bisa bergerak dan memiliki aura kewibawaan. Jangan biarkan wajah kita memucat dan lesu yang menyebabkan musuh tak pernah takut dengan kita, apalagi sampai mengkuatirkan agenda kerja kita.

Mereka belum memasukkan kita atau Anda dalam daftar utama musuh-musuhnya. Mungkin karena mereka masih melihat jauhnya jarak antara mimpi yang selalu kita gembar-gemborkan dengan semua syarat mimpi itu ada pada diri kita. Saya termasuk optimis kelak zaman keemasan itu akan kembali naik ke pangung peradabannya, apapun bentuknya nanti karena Agama pasti membutuhkan orang-orangnya.

Semua kegemilangan sejarah masa lalu adalah menjadi bahan pemicu dan pemacu untuk beramal kembali dan caranya sudah barang tentu tak lepas dari ijtihad mereka yang ingin kembali menata masa depan Islam  yang gemilang.

Peradaban sedang menanti orang-orangnya. Mereka yang sanggup bekerja dalam napas panjang dan keheningan orang, merangkai mimpinya menjadi tapak langkah kenyataan. Mereka punya agenda, punya mimpi, dan tak terkuras dengan agenda orang lain.

Karena ciri orang itu tak memiliki agenda yang jelas karena sering merecoki jalan orang lain dan gemar melemparkan pertanyaan kepadanya. Padahal orang lain punya jalan dan kita juga punya jalan. So kalau yakin dengan jalan kita, mengapa harus sibuk dengan jalan orang lain.

*) Pegiat Sosial Politik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement