Kamis 18 May 2017 16:19 WIB

KPK Sayangkan Pembebasan Terpidana Kasus BLBI

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham
Urip Tri Gunawan.
Foto: Republika/ Wihdan
Urip Tri Gunawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyayangkan bebasnya mantan jaksa Kejaksaan Agung dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan. Urip telah mendapatkan status pembebasan bersyarat setelah divonis hukuman 20 tahun penjara pada September 2008 lantaran terbukti menerima suap dalam kasus BLBI.

“Ini kalau bagi KPK sendiri, itu sebetulnya pembebasan jaksa Urip itu kami menyayangkan juga,” kata Alexander di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/5).

Menurutnya, pembebasan Urip yang bahkan belum menjalani setengah masa hukuman penjara ini justru tidak akan memberikan efek jera. Padahal, masyarakat menghendaki hukuman yang dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi serta memberikan peringatan bagi orang lain.

“Masyarakat menghendaki agar hukuman itu juga mengandung unsur efek jeranya. Bisa memberikan peringatan bagi orang lain, ketika ia melakukan kejahatan korupsi, itu akibatnya seperti itu, apalagi ini kan aparat penegak hukum,” ujar dia.

Urip yang sebelumnya merupakan bagian dari aparat penegak hukum telah menyalahgunakan jabatannya. Menurut Alexander, seorang aparat penegak hukum memiliki tuntutan tinggi untuk menegakkan hukum. Karena itu, tindakan Urip sangat disayangkan.

Sebelum memberikan remisi kepada terpidana kasus korupsi, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipertimbangkan. Ia menjelaskan, ketika seorang terpidana akan memperoleh remisi, biasanya Kepala Lapas akan menyampaikannya kepada KPK terkait apakah terpidana tersebut menjadi justice collabolator atau tidak. Dari laporan tersebut, KPK kemudian akan memberikan rekomendasinya.

“Nanti KPK akan memberikan rekomendasi bahwa yang bersangkutan kita tolak, permohonan jc-nya. Hal-hal seperti itu biasanya menjadi pertimbangan bagi pihak kalapas atau dirjen pemasyarakatan untuk memberikan remisi, biasanya mekanismenya seperti itu,” jelas dia.

Dalam kasus Urip, Alexander mengaku belum pernah menerima surat laporan dari Kepala Lapas atau dirjen pemasyarakatan terkait kelayakan remisi dan juga status pembebasan bersyarat atas terpidana tersebut. “Saya nggak tahu, pembebasan jaksa Urip itu rasa-rasanya, selama saya jadi Pimpinan KPK, tidak pernah menerima semacam surat dari Kalapas-nya, atau dirjen pemasyarakatannya terkait layak nggak sih, orang ini diberi pembebasan bersyarat, atau diberi remisi, kami belum pernah menerima,” jelas dia.

Lebih lanjut, Alexander mengatakan, menurut dirjen pemasyarakatan pemberian status pembebasan bersyarat ini sudah sesuai prosedur dan tidak harus berkonsultasi dengan KPK. Karena itu, Alexander menilai perlu dilakukan penyamaan persepsi terkait penanganan terhadap terpidana kasus korupsi.

“Karena kalau berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 2012 atau berapa, ada pembatasan, terkait ketika ada korupsi itu ada perlakuan khusus, harus misalnya, yang bersangkutan harus menjadi justice collabolator untuk dapat remisi atau untuk mendapatkan hak untuk pembebasan bersyarat. Mungkin itu nanti yang perlu kita samakan persepsinya,” ujar Alexander.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan status pembebasan bersyarat kepada mantan jaksa Urip pada Jumat (12/5). Urip divonis 20 tahun penjara serta membayar denda Rp 500 juta lantaran telah menerima suap senilai 660 ribu dollar Amerika dari Artalyta Suryani dalam perkara BLBI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement