REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional Universitas Nasional (Kapustanas Unas), Iskandarsyah Siregar, mendukung langkah yang dilakukan FSKN dalam memelihara silaturahim sekaligus menjaga dan memelihara jati diri bangsa demi keutuhan NKRI. Harapannya agar kearifan lokal yang ada di Tanah Air ini tak berdiri di tataran filosofi, melainkan menjadi teknologi terapan.
Sebagai bentuk dari dukungan terhadap FSKN (Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara) itu, lanjut Iskandar, pihaknya melalui Universitas Nasional (UNAS) bersedia menjadi fasilitator kegiatan forum tersebut. Konkretnya, Unas akan menerjunkan para peneliti melakukan kajian akademik dan selanjutnya menyosiallisasikan ke publik.
"Banyak falsafah kedaerahan yang memang memuat ajaran kehidupan yang bisa diimplementasikan. Jadi, bukan sekedar semboyan saja," ujar Iskandarsyah kepada Republika.co.id, Kamis (11/5).
(Baca: FSKN Sepakat Dorong Kemajuan Budaya Tanah Air)
Dia sepakat, pengembangan kearifan lokal yang dilakukan FSKN perlu didukung semua pihak, tak terkecuali pemerintah. Karena itu, pihaknya mendorong agar pemerintah lebih intensif bekerja sama dengan FSKN.
Iskandar menjelaskan, pada prinsipnya bangsa Indonesia lahir bangsanya dulu baru kemudian negaranya. Bangsa Indonesia sudah lahir semenjak 1928, selanjutnya menjadi NKRI berdiri 17 Agustus 1945. Pada saat itulah para pemimpin daerah baik sultan maupun raja-raja di Tanah Air ini merelakan wilayah-wilayah kekuasaannya untuk menyatu menjadi NKRI.
Semisal Cirebon, wilayah kekuasannya itu sampai ke Banten. Di bawah kepemimpinan Fatahillah, nama Jayakarta (sekarang Jakarta) menjadi sorotan dunia.
Dia pun mempertanyakan, apakah setiap pemilihan kepala daerah para pemangku adat semisal sultan dilibatkan? Padahal, katanya, mereka sangat paham siapa calon pemimpin yang memenuhi syarat sesuai kearifan lokal. "Artinya, kalau (FSKN) tak diperhatikan, itu namanya tidak sopan," tegasnya. (Baca: FSKN gelar musyawarah agung)