Rabu 10 May 2017 11:15 WIB

Nasihat Iskandar Zulkarnain, Kedalaman Agama: Belajar dari Kasus Ahok

Karangan bunga untuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mulai berdatangan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (10/5.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Karangan bunga untuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mulai berdatangan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (10/5.

Oleh DR Denny JA*

Alexander the Great (Iskandar Zulkarnain) dikenang sebagai satu dari komandan perang terbesar sepanjang sejarah. Suatu ketika ia berbicara mengenai pemimpin.

Alexander menyebut, saya tak takut pada gerombolan singa yang dipimpin oleh seekor domba. Saya jauh lebih takut pada gerombolan domba, tapi dipimpin oleh seekor singa.

Pemimpin adalah sesuatu. Bahkan, segerombolan domba bisa jauh lebih menakutkan dibandingkan segerombolan singa. Itu jika pemimpin domba adalah singa.

Akan menjadi problem jika sang singa itu tak menyadari bahwa ia memimpin segerombolan domba. Ia tak membuka hati dan tidak hidup dalam batin para domba. Akibatnya sang singa bukan saja ditinggal para domba. Bisa jadi singa itu dimangsa sekawanan domba yang dipimpinnya sendiri.

Kiasan ini cukup tepat mewakili kasus Ahok kini. Blunder Ahok karena ia tidak mengenali betul batin dan psiko publik yang ia pimpin. Ia tidak hidup atau tak peduli getaran batin mayoritas komunitas yang dipimpinnya. Akibatnya Ahok dikalahkan dua kali.

Pertama, Ahok dikalahkan oleh rakyat yang ia pimpin sendiri dalam pilkada. Kedua, ia dikalahkan oleh para hakim di pengadilan.

Saya simak lagi dan lagi basis putusan hakim ketika menyatakan Ahok bersalah. Hakim menyebut Ahok terbukti secara meyakinkan melukai perasaan umat Islam, mengganggu kerukunan beragama, dan tidak merasa bersalah. Hakim pun menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada yang dituntut jaksa.

Ini sebuah ironi. Lebih 70 persen publik Jakarta puas dengan kinerja Ahok. Mayoritas penduduk Jakarta menganggap ia gubernur yang berhasil jika semata dilihat dari programnya. Kali dan sungai bersih. Kota sangat tertata. Ia berani melawan mafia.

Dalam sejarah pilkada, 70 persen publik yang puas biasanya akan membuat sang pemimpin terpilih kembali. Untuk kasus Ahok, hal itu ternyata tidak terjadi.

Mayoritas pemilih puas dengan kinerja Ahok. Namun, mayoritas pula yang meninggalkan Ahok. Apa yang salah?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement