Senin 08 May 2017 10:15 WIB

Vonis Ahok Harus Penuhi Rasa, Rasio dan Fakta Keadilan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Angga Indrawan
 Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai menjalani sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seusai menjalani sidang lanjutan di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses persidangan perkara penodaan agama yang didakwakan kepada Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok akan diakhiri dengan pembacaan putusan majelis hakim. Masyarakat luas menantikan apa bunyi amar putusan, apakah berisikan pemidanaan, bebas ataukah lepas dari segala tuntutan hukum.

Ahli hukum pidana Abdul Chair Ramadhan menilai, majelis hakim memvonis melebihi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sangat dimungkinkan. Terlebih bila menurut sebagian besar umat Islam, tuntutan pidana satu tahun dipandang tidak equal dengan kasus-kasus serupa yang belum pernah dituntut serendah tuntutan JPU pada perkara BTP.

Menurut dia, publik harus meyakini putusan pengadilan sesuai dengan namanya bersifat memutus antara dua kutub yang berseberangan, yakni tuntutan dan pembelaan. Hakim sesuai dengan prinsip Kekuasaan Kehakiman adalah 'residu' dari konsep 'Kedaulatan Tuhan', Hakim  memutuskan perkara atas nama 'Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'.

"Hakim dalam memutuskan perkara harus didasarkan pada rasa, rasio dan fakta," ujar ahli hukum yang juga sebagai anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Pusat ini, Senin (8/5).

Abdul Chair menjelaskan, rasa lebih menekankan pada aspek kalbu yakni keyakinan. Rasio lebih tertuju pada kemampuan logika dan keilmuan. Fakta menunjuk pada berbagai hal yang terungkap di pengadilan sebagai sebuah kebenaran.

"Rasa dan rasio haruslah didasarkan para moral yang di dalamnya terkandung kejujuran," ujarnya.

Ia menilai, proses dakwaan telah terjadi kesalahan 'penerapan hukum' yang dilakukan oleh JPU. Dakwaan yang disusun secara alternatif pada dasarnya dapat dibenarkan, mengingat sifat alternatif menunjuk pada pilihan. Dan pilihan tersebut pada akhirnya diserahkan kepada hakim.

Namun, secara materiil kedua dakwaan yakni Pasal 156a huruf a dan Pasal 156 KUHP seharusnya memiliki konstruksi yuridis yang sama. Yakni dalam artian pemenuhan unsur sesuai dengan alat bukti yang tersedia.

Jika tidak dapat dilakukan, maka seyogyanya tuntutan JPU harus mengacu kepada dakwaan yang paling dianggap memenuhi unsur baik perbuatan maupun pertanggungjawaban pidana. Menurut dia, dalam proses pemeriksaan di Pengadilan, tidak ditemui adanya kelemahan atas pemenuhan unsur Pasal 156a huruf a KUHP sebagai dakwaan kesatu.

"Semua saksi dan ahli mendukung dakwaan kesatu. Ketika JPU menuntut dengan mendasarkan pada konstruksi yuridis Pasal 156 KUHP, bermakna JPU yakin telah terpenuhi unsur pada Pasal 156 KUHP," katanya.

Perlu digarisbawahi, kata dia, ada hubungan emosional antara Pasal 156 dan Pasal 156a huruf a KUHP. Hubungan dimaksud dapat dilihat dengan pendekatan kesengajaan, sebagai wujud kesalahan dalam hukum pidana. Maksudnya, kata dia, ketika BTP dinyatakan terbukti memenuhi unsur Pasal 156 KUHP oleh JPU, maka terdapat kesengajaan secara kepastian (dolus directus) bahwa perbuatan yang bersangkutan telah menimbulkan akibat -yang tidak dikehendaki- penodaan terhadap surah al-Maidah ayat 51.

"Oleh karena itu, terdakwa seharusnya dituntut dengan Pasal 156a huruf a KUHP. Walaupun timbulnya akibat tidak dikehendaki, namun ia harus dipertangungjawabkan secara pidana atas timbulnya akibat yang tidak dikehendaki tersebut yakni penodaan terhadap surah al-Maidah ayat 51," kata Abdul Chair.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement