REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris, mengatakan wacana penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) perlu dilakukan. Penghapusan itu lebih mempertimbangkan sistem pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak pada 2019.
"Jika ada yang menyepakati penghapusan presidential treshold justru baik. Sebab, ini bukan soal ambang batas nol persen atau sekian persen," ujar Syamsudin kepada Republika di Jakarta, Kamis (4/5).
Pelaksanaan pemilu pada 2019 mendatang akan dilakukan secara serentak, yakni memilih calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres). Menurutnya, akan tidak relevan jika sistem presidential treshold tetap diberlakukan.
"Jika tetap ada sistem itu, maka justru ada penyimpangan," ungkap Syamsudin.
Sebelumnya, Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy, mengatakan pihaknya mengusulkan wacana penghapusan presidential treshold. Usulan penghapusan itu bertujuan memberikan kebebasan pada parpol dalam mengajukan calon sendiri atau bergabung dengan parpol lain.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari fraksi PDIP, Arteria Dahlan, menilai presidential treshold tetap perlu pada 2019 mendatang. Menurutnya, sistem itu bukan bertujuan memberangus parpol minoritas. Dia memandang sistem presidential treshold sebagai bentuk penguatan kelembagaan parpol.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan pihaknya tetap mengusulkan presidential treshold dalam Pemilu 2019 menjadi nol persen. Dia perpendapat jangan sampai regulasi parlemen mereduksi kepentingan rakyat.