REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pendidikan, Keilmuan dan Budaya PBB (UNESCO) menegaskan kasus kekerasan pada jurnalis harus diinvestigasi dan diadili agar tidak ada impunitas pada pelaku penyerang jurnalis.
"Kami percaya ini yang terpenting, semua kasus kekerasan dan pelecehan pada jurnalis harus diinvestigasi dan dibawa ke pengadilan," ujar Asisten Dirjen Komunikasi dan Informasi UNESCO Frank La Rue dalam World Press Freedom Day 2017 di Jakarta, Selasa (2/5).
Jika tidak diinvestigasi dan diadili, tutur dia, maka terdapat risiko terjadinya pengulangan dan akan menambah kasus kekerasan pada jurnalis.
"Ini yang UNESCO laporkan pada masalah impunitas, berhubungan dengan pembunuhan pada jurnalis ini hal penting," kata La Rue.
Investigasi harus dijalankan agar tidak menimbulkan spekulasi semata tentang sebab terjadinya kekerasan. Untuk itu, dialog antara masyarakat sipil dan aparat penegak hukum perlu dilakukan agar kasus diinvestigasi terlepas tidak jelasnya alasan kekerasan terkait jurnalistik.
Selain itu, diperlukan kebijakan untuk mencegah kekerasan, salah satunya dengan membangun kapasitas aparat keamanan, seperti polisi dan tentara serta kapasitas jurnalis.
"Rekonsiliasi sosial antarpemilik media juga, dan dukungan untuk jurnalis serta mekanisme perlindungan," ucap dia.
Selain keselamatan, UNESCO mendorong kebebasan media beserta akses pada informasi, privasi dan perlindungan kerahasiaan narasumber harus dijamin.
Ada pun di Indonesia, pada 2016, tercatat 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat apabila dibandingkan pada 2014 dan 2015. Tahun ini, hingga April, terjadi 21 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Selain itu, terdapat delapan pembunuhan jurnalis yang kasusnya tak terselesaikan.
Mereka adalah Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur), Adriansyah Matra'is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku).
Delapan pembunuhan jurnalis tersebut masih terbengkalai dan para pelakunya belum diadili