Senin 24 Apr 2017 16:55 WIB

'JPU Terkesan Membela Ahok Dibandingkan Menuntut'

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ani Nursalikah
Berkas tuntutan dengan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Berkas tuntutan dengan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Indonesia Abdul Aziz mengomentari keputusan tuntutan yang diajukan JPU kasus penistaan agama yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dari sisi politik. Abdul mengacu pada beberapa kasus serupa yang pernah terjadi.

Kasus Lia Eden, Arswendo Atmowiloto dan Permadi, menurut Abdul, selalu mendapat hukuman berat dan dijatuhi hukuman penjara. Dia menganggap kasus Ahok mengandung keanehan. Keanehan tersebut terlihat dari alasan kurang rasional yang digunakan JPU untuk menunda pembacaan tuntutan, juga tuntutan JPU berseberangan dengan kenyataan.

"Bukankah sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, ahli berbagai bidang (hukum pidana, linguistik, dan agama) mampu menunjukkan dengan jelas Ahok nyata-nyata melakukan penistaan," ujar Abdul, Selasa sore (24/4).

Baca: Pengamat: Jaksa Penuntut Ahok Keliru Secara Yuridis

Tuntutan JPU, menurut peneliti senior Center for Election and Political Party ini terdengar aneh dan rendahan. Selain itu, dia menganggap tuntutan tersebut mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, ketidakseriusan JPU dalam mendakwa Ahok dan lebih terkesan membela dibandingkan menuntut. Kedua, dia menganggap JPU tidak memahami hukum atau sengaja mengabaikan sejumlah yurisprudensi tentang perkara yang sama.

"ini akan membuka peluang penafsiran publik bahwa JPU terima 'sembako'. Kebenaran dan keadilan hukum dikalahkan oleh sebungkus 'sembako'," ujar dia.

Dosen FISIP ini menganggap apa yang terjadi dalam konteks ini menandakan peradilan kehilangan kemandiriannya, dan di bawah kuasa kekuatan lain, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. "Jika demikian, itu pertanda hukum di negeri ini tidak supreme. Yang ada adalah supremasi politik dan supremasi ekonomi," ungkap Abdul.

Dia mengklasifikasikan tindakan JPU ini sebagai bukti rendahya moralitas penegak hukum sehingga terkesan tidak berwibawa dan sulit mendapatkan kepercayaan publik. Menurut dia, hukum saat ini hanya menjadi deretan pasal yang tidak memancarkan keadilan.

"Ini akibat kepentingan kekuasaan ikut campur terlalu jauh di dalam proses hukum," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement