Senin 24 Apr 2017 15:28 WIB

Ahok Kalah Bukan karena Faktor Agama?

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Esthi Maharani
Cagub DKI Jakarta Anies (kiri) Baswedan berjabat tangan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (20/4).
Foto: Republika/ Wihdan
Cagub DKI Jakarta Anies (kiri) Baswedan berjabat tangan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tebet, Jakarta Selatan, adalah salah satu wilayah yang kental dengan suasana religius. Kawasan ini juga terkenal sebagai salah satu tempat terakhir dengan sebutan Betawi asli. Hal ini tidak lepas dari sejarahnya jauh di tahun 1960an lalu. Saat itu, ribuan orang Betawi direlokasi dari wilayah Senayan ke Tebet. Presiden Sukarno punya hajat menjadikan Senayan sebagai kawasan olahraga.

Setengah abad lalu, Tebet adalah daerah yang berbukit, miskin, terisolasi dan masih dipenuhi pepohonan. Ini membuatnya cocok jadi wilayah taman kota. Sekarang, 200 ribu orang memadati area yang hanya seluas 10 km persegi itu. Tebet jadi kawasan yang cepat tumbuh. Banyak gang-gang tikus yang seperti tidak pernah sepi.  Mobil, motor, sedan, truk, hingga mobil mewah tidak pernah absen terlihat melintas. Saat Pilkada DKI Jakarta kemarin, Tebet juga sempat jadi sorotan.

Pada 14 April, lima hari sebelum hari pencoblosan Pilkada DKI Jakarta putaran dua, ada sedikit insiden di masjid setempat. Saat itu, pasangan kandidat nomor dua Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Djarot Saiful Hidayat baru selesai shalat jumat. Ia pun jadi sasaran ajakan foto bareng dan salaman warga setempat. Tak lama, dikabarkan seorang pemimpin masjid membubarkan mereka. Djarot diberitakan diusir dari sana.

Kejadian ini menjadi viral di media. Apalagi setelah diberi embel-embel Djarot diusir karena jadi pasangan Ahok, kandidat yang beragama non-Muslim dan keturunan Cina. Sentimen anti-Cina dan anti-non Muslim memang jadi bahan laku di kampanye pemilihan Gubernur ibukota yang multikultur ini. Tebet pun digadang-gadang sebagai salah satu basis kuat rival pasangan Ahok-Djarot, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Seorang pemimpin komunitas Betawi yang tinggal di Tebet Dalam, Mahfudz Djaelani mengatakan sebenarnya bukan karena agama mereka tidak memilih Basuki.

"Bagi orang Betawi, agama memang utama tapi bukan berarti kita tidak menerima orang dari agama lain," kata mantan anggota parlemen itu.

Menurutnya, dukungan ini soal tingkah laku. Banyak orang menganggap Basuki kasar dan arogan. Padahal bagi orang Betawi, perilaku dan adat budaya juga sangat penting. Anies memang diuntungkan karena ada sentimen anti-Cina dan anti pemimpin non-Muslim, tapi bukan karena itu ia menang pemilu. Ia diuntungkan oleh tingkah lakunya yang lebih sopan dan santun.

"Ini soal personaliti dan kebijakannya," kata Mahfudz.

Meski demikian, Anies mungkin akan tetap berakhir sama seperti Ahok jika ia tidak bisa bekerja dengan baik. Anies harus berhasil mematahkan siklus ketidakseteraan bagi rakyat-rakyat kecil. Pasalnya karena harapan itu lah, orang-orang mempercayainya menggantikan Ahok.

sumber : South China Morning Post
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement