REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tuntuan jaksa penuntut umum (JPU) pada persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan hukum satu tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun, terus menuai kontroversi. Pengamat Kepolisian M Nasser mengatakan, tuntutan JPU itu merupakan bukti dari ketidakberesan hukum.
"Tuntutan JPU dalam persidangan ke 19 kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, sangatlah tidak wajar," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (23/4).
Dikatakan Nasser, argumentasi dan pertimbangan hukum yang disampaikn JPU, cukup kuat dan sistematis. Bahkan, bukti-bukti dan argumen bahwa telah terjadi perbuatan penistaan agama sudah sangat terang. "Namun anehnya, pada tahap membuat kesimpulan yang kemudian sampai pada isi tuntutan tidak sejalan dengan argumentasi hukumnya," ujarnya.
Mantan Komisioner Kompolnas tersebut juga berpendapat, dari proses jalannya sidang ke-18, juga bisa terlihat ada yang tidak beres. Saat penundaan sidang pada 11 April, kata Nasser, tampak wajah JPU yang memelas. "Seakan menggambarkan pertentangan batin antara profesionalisme dan memenuhi pesanan seseorang yang dihormatinya," ucapnya.
Sebelumnya, di persidangan ke 19 pada Kamis (20/4) lalu, JPU membacakan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun penjara. Artinya, terdakwa Ahok bisa dihukuman 1 tahun penjara apabila melakukan atau mengulangi perbuatan tindak pidana selama dalam masa percobaan 2 tahun.