REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua panitia pengadaan KTP Elektronik (KTP-el) Drajat Wisnu Setiawan mengaku menerima 40 ribu dolar AS dari proyek senilai total Rp 5,92 triliun.
"Saya dapat 40 ribu dolar AS dari Pak Giarto (Sugiharto), uangnya saya simpan dan sudah dikembalikan ke KPK 40 ribu dolar AS," kata Drajat dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/4).
Drajat menjadi saksi untuk dua terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto. Padahal dalam dakwaan Sugiharto dan Irman, Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan disebut menerima sebesar 615 ribu dolar AS dan Rp 25 juta. "Uang diterima setelah selesai KTP-eleltroniknya, saya saya khilaf menerima uang itu," tambah Drajat.
"Apakah sudah terbiasa dengan praktik itu?" tanya ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar. "Tidak yang mulia, saya hanya sekali itu saja menerima dari pak Giarto," jawab Drajat.
Hakim juga menanyakan apakah ada juga pemberian uang ke auditor. Menjawab pertanyaan itu, Dradjat mengatakan pada waktu itu ada review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jadi ada uang untuk upah lembur dan uang makan," jawab Drajat.
Hakim kembali mencecarnya dengan pertanyaan, apakah ada kewajiban memberikan uang? Dradjat pun menjawab tidak ada.
Drajat mengaku memberikan uang untuk auditor BPKP bernama M Toha. Sedangkan dalam dakwaan, ada auditor BPK bernama Wulung yang memeriksa pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil menerima sejumlah Rp 80 juta untuk medapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pengelolaan keuangan Ditjen Dukcapil 2010.
"Lalu ada keterangan saudara mengatakan 'Setelah menerima uang dari Sugiharto saya bawa ke rumah dan pada saat yang sama saya berikan ke anggota panitia pengadaan yang lainnya sebesar Rp 10 juta', ini benar?" tanya hakim Jhon.
"40 ribu dolar AS tadi untuk kerja lembur pantiia, lalu kami simpan dan diserahkan ke pantia lelang dalam bentuk rupiah. Ada enam pantia lelang dan masing-masing Rp 10 juta jadi semuanya Rp 60 juta," jawab Drajat.
Uang itu, menurut Drajat berasal dari dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk biaya operasional antilelang dengan anggaran sekitar Rp 100 juta.
Selain uang yang diterimanya, Drajat juga mengaku pernah mengantarkan bungkusan yang belakangan diketahui merupakan uang ke rumah dinas DPR, mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komaruddin.
"Saya disuruh mengantarkan bungkusan tapi saya tidak tahu isinya uang ke rumah dinas DPR oleh Pak Irman, saya hanya dikasih alamatnya tapi saya tidak tahu jabatanya apa dan siapa," ungkap Drajat.
"Namanya siapa? Bagaimana menyerahkannya?" tanya jaksa penuntut umum Abdul Basir.
"Ada alamatnya dan mungkin ada pembicaraan dengan Pak Irman, saya hanya kontak dengan istrinya yang di rumah itu," jawab Drajat. "Apakah ada nama Ade Komarudin?" tanya jaksa Basir.
"Saya tidak tahu persis, saya hanya tahu Ade Komarudin orang DPR, akhirnya diberikan uang ke istri yang menunggu rumah itu karena saat saya mau kasih uang istrinya menelpon," jawab Drajat. Soal pengantaran uang itu sendiri telah dibantah Ade Komarudin dalam sidang pada 6 April lalu.