Selasa 18 Apr 2017 03:28 WIB

Medsos Timbulkan Kekuatan Sendiri dalam Pilkada

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Indira Rezkisari
Kandidat calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat serta pasangan Kandidat nomor urut 3, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saling berpelukan usai debat putaran kedua atau debat terakhir Cagub-Cawagub pada Pilkada DKI Jakarta 2017 di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (12/4).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Kandidat calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat serta pasangan Kandidat nomor urut 3, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saling berpelukan usai debat putaran kedua atau debat terakhir Cagub-Cawagub pada Pilkada DKI Jakarta 2017 di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pilkada DKI Jakarta kali ini, bukan hanya dikuasai oleh banyaknya partai politik (parpol), tetapi juga dikendalikan oleh media sosial (medsos). Berita-berita yang muncul di medsos, sangat mempengaruhi persepsi para pemilih.

Pengamat politik LIPI, Indria Samego, mengutarakan tentang keramaian dan kehebohan di pilkada kali ini didominasi oleh medsos. "Ramai betul. Dulu sewaktu otoriter, semua terkendali. Yang dari daerah tergantung Jakarta, dan Jakarta tergantung Cendana," ujar dia.

Tetapi Pilkada saat ini, menurut Indria, bukan hanya banyak parpol sebagai kekuatan, tetapi medsos juga menjadi kekuatan tersendiri sebagai penguasa. Bahkan setiap orang bangun tidur, pasti langsung mencari teleponnya dan membuka medsos.

"Itu merupakan konsekuensi dari demokrasi. Saya pernah mendengar pernyataan dari seorang Indonesianis yang sudah tinggal di Australia, ia mengatakan, Pemilu 1955 adalah pemilu terbaik di Indonesia, tidak ada yg menciderai aturan pemilu," papar dia, Senin (17/4).

Tidak saling tegur sapa antarkeluarga, karena perbedaan pilihan, merupakan bagian dari politik. Namun keadaan tersebut, dikatakan Indria, jangan sampai menodai demokrasi dengan ancaman atau teror. "Yang bersifat kekerasan harus disingkirkan. Ada hal-hal yg membedakan negara kita dengan negara yang sudah maju. Di negara maju, kalah menang dalam politik adalah hal yang biasa," jelas dia.

Selain itu, untuk di negara maju, ada pembuatan surat kalah menang, sementara di Indonesia baru mulai bisa selesaikan sengketa pilkada. Pilkada DKI Jakarta, setiap tahunnya memang terasa seperti Pilpres. "Karena Pilkada di daerah lain, politisasi agama tidak menjadi masalah. Namun di DKI Jakarta sekarang menjadi masalah, dengan bumbu yang bermacam-macam," papar Indria.

Perwakilan dari Komunitas Pemuda, Nia, mengungkapkan kekecewaannya dengan calon gubernur DKI Jakarta pejawat, yang tidak bisa menjaga ucapannya. Pelecehan agama dan pelecehan tokoh-tokoh lainnya, jika ia menang, akan banyak yang muncul orang-orang serupa seperti dia. Nia khawatir, jika ia menang, akan banyak orang yang marah karena hukum tidak ditegakkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement