Ahad 09 Apr 2017 12:26 WIB

GNPF: Tuduhan Makar adalah Kejahatan

Rep: Fuji EP/ Red: Ilham
Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera (kanan).
Foto: Republika/ Wihdan
Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi GNPF MUI, Kapitra Ampera mengatakan, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakatnya. Indonesia memiliki usia yang cukup dewasa bagi sebuah negara untuk mengelola pemerintahannya agar dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945.

Menurutnya, dalam pengelolaan pemerintahan, negara menetapkan aturan dan kebijakan untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah atau penguasa dapat diartikan sebagai tindakan negara. Tapi, kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi sebagai ketentuan dasar negara yang mengatur kewajiban pokok negara kepada rakyatnya.

"Kondisi Indonesia saat ini dipandang melenceng dari amanat konstitusi, kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk melakukan kejahatan hukum, dengan mengabaikan konstitusi," kata Kapitra kepada Republika.co.id melalui keterangan tertulisnya, Ahad (9/4).

Ia menerangkan, hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.

Dikatakan dia, penguasa atau negara membuat kebijakan yang mengabaikan dan bertentangan dengan konstitusi serta UU. Sehingga membuat terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia (basic human right). Inilah yang dimaksud sebagai kejahatan negara.

"Salah satu contoh nyata dari kejahatan negara yang terjadi saat ini adalah tuduhan kejahatan makar terhadap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al-Khaththath," ujarnya.

Ia menjelaskan, Al-Khaththath ditangkap kemudian ditahan Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar sebelum melaksanakan aksi damai 313 pada 31 Maret 2017. Penangkapan tersebut merupakan bentuk penggunaan kekuasaan yang tidak berkeadilan. Tuduhan tersebut juga tidak berdasar.

Menurutnya, momentum ini digunakan untuk membungkam aktivitas masyarakat menyampaikan pendapat yang merupakan hak masyarakat dan dilindungi UU. Secara yuridis, diterangkan Kapitra, aksi damai 313 merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi dan UU.

"Aksi 313 terbukti berjalan dengan damai, menyampaikan aspirasi agar pemerintah patuh dan tegas dalam menjalankan UU, tidak ada upaya makar atau menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang dituduhkan," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement