REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA – Ahli Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) Suwarno berhasil mengembangkan dua jenis obat terapi yang bisa menghambat pertumbuhan virus flu burung atau Avian Influenza (AI). Obat tersebut berasal dari ekstrak kuning telur yang diberi nama Anti-Hemaglutinin Antibody (AHA) dan Anti-Neuraminidase Antibody (ANA).
“Sejak virus Avian Influenza (AI) ada di Indonesia tahun 2003, kita merasa terenyuh. Itulah yang mendorong kami untuk membuat vaksin dan alat terapi. Obat AHA dan ANA adalah bentuk alat terapi yang kita ekstrak dari kuning telur,” kata Suwarno melalui siaran pers, Kamis (6/4).
Ia menjelaskan, ekstrak kuning telur tersebut diambil dari kelompok ayam yang terinfeksi virus Flu Burung yang berada dalam fase menjelang bertelur. Kedua kelompok ayam tersebut diberi vaksinasi AI. Kelompok pertama diimunisasi dengan protein hemaglutinin dari virus AI, sedangkan kelompok kedua diimunisasi dengan protein neuraminidase dari virus yang sama.
Setelah kelompok ayam itu bertelur, peneliti mengekstrak telur dan hanya mengambil kuning telur. Setelah diekstrak, peneliti mengambil antibodi dan melakukan pemurnian protein. Pemurnian hemaglutinin dan neuraminidase (anti hemaglutinin dan anti neuraminidase) diformulasi dan ditambah dengan kolostrum (susu dari sapi yang keluar pertama kali), beberapa jenis vitamin, mineral, dan asam amino.
Ia mengklaim cara pemberian obat AHA dan ANA cukup mudah. Obat terapi tersebut cukup disemprotkan ke dalam paruh ayam dengan dosis sekitar satu milliliter. Dari hasil penelitiannya, apabila obat tersebut diberikan maksimal dua hari sejak virus Flu Burung menginfeksi tubuh ayam, maka obat AHA dan ANA dapat menghambat 80 hingga 100 persen pertumbuhan virus AI. Sehingga, ayam tersebut bisa diselamatkan dari kematian.
Menurutnya, kedua jenis obat tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Obat AHA digunakan untuk mencegah menempelnya virus AI ke dalam sel. Sedangkan, obat ANA digunakan untuk mencegah keluarnya virus AI dari sel. Obat tersebut akan berfungsi optimal bila diberikan maksimal dua hari sejak virus AI menginfeksi tubuh ayam. Namun, bila lebih dari dua hari, penggunaan dua obat ini perlu dikombinasikan.
“Kalau sudah lebih dari dua hari sudah agak sulit. Makanya kita kombinasikan. Jadi, ketika virus keluar dari sel, kita tangkap dengan AHA. Ini supaya virusnya tidak menempel dalam sel. Kalau berkembangbiak, virus keluar dari sel, maka akan ditangkap dengan ANA,” imbuh dosen yang memiliki sembilan hak paten tersebut.
Riset mengenai ekstrak kuning telur yang digunakan untuk mengobati ayam yang terinfeksi virus AI dimulai sejak 2009. Obat ini sudah diuji coba pada ayam-ayam yang terinfeksi virus AI di peternakan ayam di Blitar, Malang, dan beberapa wilayah terjangkit lainnya. Dari beberapa kali uji coba di lapangan, pada kasus-kasus sedang, antibodi tersebut mampu menghambat pertumbuhan virus hingga 60 persen.
Keunggulan lainnya AHA dan ANA mampu mengobati virus dengan risiko kematian tinggi atau Highly Pathogenic AI (HPAI) dan risiko rendah atau Low Pathogenic AI (LPAI) Virus. Selain itu, obat AHA dan ANA bisa mengobati berbagai virus AI subtipe H5N1, H5N9, dan H5N2.
“Kalau ayam terinfeksi HPAI pasti mati. HPAI tidak menunjukkan gejala, tapi kalau tubuhnya diisolasi, hasilnya positif. Seringkali, mahasiswa koas (co-assistant) menemukan itu di laboratorium,” imbuh pria yang menjadi anggota Tim Komisi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI itu.
Suwarno mengakui, produk buatannya sudah dilirik oleh sejumlah perusahaan. Namun, ia menganggap kemasan obat AHA dan ANA masih perlu disempurnakan. Sebab, jika obat tersebut dimanfaatkan untuk populasi yang besar, ia masih perlu menambah netto setiap kemasan.
“Tujuannya biar lebih praktis. Karena awalnya dibuat individual, kita bikin yang spray (semprot). Kalau mau efektif, ya, tinggal dilarutkan dalam air. Tidak sampai dua jam, pasti akan air tersebut akan dihabiskan sama ayam. Jadi, prinsipnya mirip dengan vaksinasi,” ungkapnya. Ia berharap, dengan adanya obat AHA dan ANA ini, kerugian akibat wabah penyakit virus Flu Burung di Indonesia dapat terus berkurang.