Rabu 05 Apr 2017 20:39 WIB

‎Pemimpin Harusnya Melayani Rakyat, Bukan Elite Partai

Rep: Qommarria Rostanti / Red: Ilham
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Jazuli Juwaini.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Jazuli Juwaini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemimpin yang dihasilkan dari pemilihan umum (pemilu) yang demokratis ‎baik itu pemilihan presiden (pilres) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) harus mampu melahirkan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan dan pelayanan rakyat. Demikian halnya dengan birokrasi yang menjadi alat pemerintahan dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan bagi rakyat.

Anggota Komisi I DPR, Jazuli Juwaini mengatakan, ‎dimensi pelayanan publik ini penting karena merupakan alasan utama lahirnya negara, sebagai sebuah kontrak sosial antara penyelenggara negara dengan rakyat untuk mengatur dan mengurus hajat hidup mereka.‎ Apalagi, kata dia, bangsa Indonesia sepakat membangun sistem demokrasi yang lebih kuat dan bermakna.

Demokrasi bermakna adalah demokrasi yang bekerja untuk memenuhi keinginan dan aspirasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan. “Jadi, pemimpin itu tugasnya melayani rakyat, bukan melayani elite atau partai pendukungnya,” ujarnya, Rabu (5/4).‎

Pandangan Jazuli ini merujuk pada rumusan konsepsi birokrasi pemerintahan dari lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan yang mengklasifikasikan pemerintahan ke dalam dua kategori, yaitu good governance dan ‎bad governance.

Ada sembilan prinsip good governance, yaitu partisipasi, ketaatan hukum, ‎transparansi, responsif, berorientasi solusi atau konsensus, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. “Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance," ujar Jazuli.

Dengan merujuk pada konsepsi di atas, maka menurut dia birokrasi di Indonesia belum benar-benar menerapkan good governance ‎sehingga perlu terus didorong terus upaya reformasi birokrasi. “Praktik buruk yang masih sering terjadi dalam birokrasi kita, misalnya politisasi birokrasi, maladministrasi, korupsi, kesejahteraan ASN, terutama honorer yang belum tertangani dengan baik, dan lain-lain,” kata dia.

Oleh karena itu, Jazuli memberikan lima solusi dalam upaya menata birokrasi yang melayani. Pertama, birokrasi harus membangun budaya melayani, bukan dilayani. Pemerintah harus mengubah paradigma ‎birokrasi sebagai pelayanan masyarakat, bukan abdi negara. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah‎ (pemimpin) sering disebut sebagai ‎qodimatul ummah (pelayan rakyat).

Kedua, birokrasi harus memperkuat sistem meritokrasi dalam proses rekrutmen dalam rangka mengelola sumber daya manusia di birokrasi.‎ Ketiga, birokrasi harus mengembangkan sistem akuntabilitas.‎ ‎Jazuli mengatakan, akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Rumusnya sederhana, yakni kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.

Keempat, untuk menegakkan prinsip akuntabilitas dalam birokrasi maka diperlukan satu sistem pengawasan yang kuat dan melekat, yang mencegah perilaku maladministrasi dan korupsi. Kelima, tidak kalah penting sistem harus menjamin adanya penghargaan dan hukuman ‎yang jelas sehingga memotivasi kinerja pegawai untuk berprestasi dan berkompetisi yang sehat. Yang berprestasi mendapatkan penghargaan, sementara yang berkinerja buruk mendapat hukuman.

"Sistem ini menjamin keadilan, sehingga pegawai tidak hanya dituntut atau ditekan untuk kerja bagus, tapi yang kerjanya bagus diapresiasi dan diberi imbalan," kata Jazuli.

Keenam, perbaikan dan penguatan sistem regulasi (perundang-undangan) yang komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement