Rabu 05 Apr 2017 17:02 WIB

Fahri Hamzah: Posisi DPD Anomali

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Indira Rezkisari
Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (kanan), bersama Mantan Ketua DPD Mohammad Saleh (kedua kanan) , wakil ketua DPD terpilih I Nono Sampono (kiri) dan Darmayanti (kedua kiri)saat menghadiri pelantikan Pimpinan DPD dalam Sidang Paripurna DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang (kanan), bersama Mantan Ketua DPD Mohammad Saleh (kedua kanan) , wakil ketua DPD terpilih I Nono Sampono (kiri) dan Darmayanti (kedua kiri)saat menghadiri pelantikan Pimpinan DPD dalam Sidang Paripurna DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan seharusnya presiden hadir untuk memberikan makna memperkuat dan memperjelas posisi DPD RI. Menurutnya, pimpinan DPD dipilih oleh rakyat secara langsung, akan tetapi oleh undang-undang tidak diberikan kewenangan yang memadai sehingga pada akhirnya DPD hanya menjalankan fungsi simbolik.

Fahri menambahkan, kekuatan politik DPD sebetulnya tidak kentara dan secara fungsional cukup lemah. Dengan adanya konflik yang terjadi di DPD beberapa hari lalu, Fahri menyebut posisi DPD anomali.

"Saya terus terang kalau posisi DPD itu anomali dan lalu kemudian muncul konflik seperti sekarang ya harusnya kita reformasi. DPD itu mau dijadikan seperti apa," ujar Fahri usai menghadiri pembukaan Seminar Nasional Nahdlatul Wathan di Universitas Negeri Jakarta, Rabu (5/4).

Fahri meminta kepada Presiden agar memberikan perhatian kepada konflik yang terjadi di DPD. Semestinya ada rumusan agar kewenangan DPD menjadi jelas. Menurut Fahri, apabila DPD dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum (pemilu) maka sebaiknya DPD diberikan fungsi legislatif murni dan memiliki akses terhadap pembuatan undang-undang, anggaran, dan pengawasan. Akan tetapi, jika DPD tidak difungsikan sebagai legislatif murni maka tidak perlu DPD dipilih melalui pemilu karena ongkosnya mahal.

"Ongkos untuk milih DPD itu triliunan, kita hemat saja itu yang triliunan, minta ditunjuk sama kepala daerah saja sama DPRPD gitu," kata Fahri.

Fahri berpendapat, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan semestinya bisa turun tangan agar persoalan ini bisa selesai dengan efektif agar DPD memiliki kewenangan yang jelas. Anomali fungsi DPD menyebabkan lembaga ini rawan untuk diintervensi dari luar.

"Karena DPD memang dari awal anomali memang rawan intervensi, masa ketua DPD ditangkap karena uang Rp 100 juta, tengah malam, tidak didampingi lawyer, diinterogasi, paginya sudah jadi tersangka. Jadi DPD itu anomali, jadi gampang diganggu dari luar," kata Fahri.

Di sisi lain, Fahri mengatakan, Mahkamah Agung (MA) harus menjelaskan mengenai pelantikan yang dilakukan untuk mengesahkan pimpinan DPD. Menurutnya, ada anomali politik ketika MA selaku lembaga yudisial masuk ke dalam ranah politik.

"Anomali politik ini menjadi kemudian anomali dalam penegakan hukum. MA jadi tidak nampak menegakan hukum. MA jadi nampak seperti ada dalam permainan politik, itu tidak baik bagi MA," ujar Fahri.

Fahri menjelaskan, MA yang memiliki putusan atas amsa jabatan pimpinan DPD RI hingga lima tahun. Namun di sisi lain, MA juga yang melakukan pelantikan terhadap pimpinan DPD.

"MA sekarang terjebak konflik prosedur di DPD, MA ini harus menjelaskan ada dimana sekarang ini posisinya, kenapa dia mengambil sikap seperti itu," ujar Fahri.   

Pada Selasa (4/4), Oesman Sapta Odang (OSO) dilantik menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah dalam sidang paripurna DPD RI di Senayan Jakarta dan dipandu oleh Wakil Ketua MA H M Syarifuddin.

Pelantikan pimpinan baru DPD RI ini berdasarkan keputusan DPD RI untuk masa jabatan periode Maret 2017 sampai dengan September 2019. Sebelumnya terjadi pro-kontra atas terpilihnya OSO dan Nono Sampono serta Damayanti Lubis sebagai ketua dan wakil ketua DPD.

Terpilihnya OSO sebagai ketua DPD mengacu pada Tatib Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib DPD soal masa jabatan pimpinan DPD, yakni 2,5 tahun. Namun, tatib itu sudah dibatalkan oleh MA. Sidang paripurna Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI akhirnya memutuskan untuk menetapkan tata tertib baru menggantikan Tatib Nomor 1 Tahun 2017 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung tersebut. n.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement