Senin 03 Apr 2017 19:31 WIB

Kebun Jahe Warga Disebut Picu Longsor di Ponorogo

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Andi Nur Aminah
Tim SAR Gabungan mencari jenazah korban yang tertimbun longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo, Jawa Timur, Senin (3/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Tim SAR Gabungan mencari jenazah korban yang tertimbun longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo, Jawa Timur, Senin (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut perkebunan jahe milik warga menjadi salah satu pemicu longsornya tebing di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuliarto, mengatakan tebing dengan ketinggian di atas 40 persen harusnya tak boleh digunakan untuk budidaya tanaman intensif seperti jahe.

Ia menjelaskan, tumbuhan seperti jahe dan umbi-umbian dipanen dengan cara mencabut akar tanaman sehingga membuat tanah ikut terangkat. Tanah yang terus terangkat berbahaya mengingat tingkat kemiringan tebing yang telah longsor tersebut mencapai 52 persen. "Terjadinya longsor kan pada saat warga sedang panen jahe," ujarnya, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (3/4).

Menurut Yuliarto, tanah dengan tingkat kemiringan tinggi sebenarnya bisa digunakan untuk budidaya agro forestry, yakni perpaduan tanaman keras dengan tanaman semusim. Misalnya, pohon buah-buahan seperti alpukat dan nangka yang juga mampu tumbuh di ketinggian.  

Jenis pohon tersebut, kata dia, memiliki akar yang mampu mengikat kuat pori-pori tanah. Bahkan, bila pohon-pohon tersebut ditanam dengan jarak tertentu yang berdekatan, maka akar-akar pohon dapat menyatu sehingga membuat formasi fondasi yang dapat mengikat tanah lebih kuat lagi.

Tebing longsor di Desa Banaran sendiri memiliki jenis tanah regulit, yakni tanah mengalami pelapukan yang belum sempurna. Tanah tersebut berpori sehingga memungkinkan air terus masuk sampai ke lapisan terdalam tanah. "Lama-lama air mengumpul. Kalau kejenuhan air demikian besar, kemudian daya ikat tanahnya kurang, maka terjadilah longsor," tutur Yuliarto.

Ia menyadari bahwa masih banyak warga yang tidak paham dengan aturan budidaya tanaman di lokasi-lokasi tertentu. Karenanya, Yuliarto mengatakan, idealnya harus ada penyuluhan dan bimbingan dari pemerintah daerah mengenai tata cara bercocok tanam dan konservasi di lahan pertanian dengan tingkat kemiringan di atas 40 persen.

(Baca Juga: Longsor Ponorogo Ditemukan" target="_blank">Satu Lagi Korban Longsor Ponorogo Ditemukan)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement