REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif, Syamsuddin Alimsyah, menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bakal menorehkan sejarah terburuk dalam demokrasi di Indonesia. Karena lembaga yang dipercaya mewakili aspirasi daerah itu berpotensi terjadinya dualisme kepemimpinan. Itu terjadi ketika anggota DPD RI bersikeras menggunakan Tata Tertib (Tatib) yang lama untuk melantik ketua baru. Padahal, kata Syamsudin Mahkama Agung (MA) sudah membatalkan Tatib tersebut.
“Berpotensi memunculkan adanya dualisme kepemimpinan. Tentu saja hal ini menjadi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat Indonesia,” keluh Syamsuddin Alimsyah, dalam Diskusi Media yang digelar Aliansi Nusantara di Bakso Lapangan Tembak Senayan Jakarta, Ahad (2/4).
Diskusi yang bertema “Ayo Bergerak, Save DPD RI” ini menghadirkan sejumlah pembicara. Selain Syamsuddin, pembicara lainnya adalah Prof Dr Tjipta Lesmana, MA, Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Budi Luhur Jakarta. Dalam kesempatan itu, Syamsudin juga mengaku khawatir dengan masa depan DPD RI yang sudah disusupi oleh Partai Politik (Parpol). Sehingga fungsi dan peran DPD RI saat ini semakin tidak jelas.
“Penting mendudukan kembali peran dan fungsi DPD yang jelas dan tegas. Sebuah lembaga negara dibentuk harus punya kewenangan yang jelas. Sehingga mengukur kinerjanya juga menjadi jelas,” tegasnya.
Selain itu, kata Syamsudin, tentu juga lebih tegas mengatur keanggotannya yang bebas dari parpolisasi. Menurutnya, bisa dibayangkan bila semua anggota DPD RI adalah orang parpol, maka DPR dan DPD hamper tidak ada pembeda lagi karena sama-sama menampung orang partai politik. Tidak akan ada pembeda garis perjuangan. Kepentingan partai yang tidak bisa diperjuangkan lewat DPD akan dengan mudah diperjuangkan melalui DPR, begitu pula sebaliknya.
"Kalau begitu buat apa ada MPR ? mengapa tidak DPR saja? Kasarnya, keberadaan MPR sebagai lembaga tinggi negara sudah hilang‘’dirampok’’secara konstitusi karena parpolisasi,” ungkapnya.
Di samping itu, Syamsudin beralasan, Parpolisasi DPD RI juga berimplikasi negatif bagi pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Salah satunya, adalah potensi terjadinya kooptasi politik terhadap kepentingan Pemda dan masyarakat lokal. Disebutnya, terjadi perubahan cara pandang masyarakat yang melihat DPD RI dari lembaga representasi daerah menjadi lembaga politik.