Selasa 21 Mar 2017 12:31 WIB

Massa SPRI Tuntut Koruptor KTP-El Segera Ditangkap

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Massa melakukan aksi simbolik mengawal kasus korupsi KTP elektronik
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Massa melakukan aksi simbolik mengawal kasus korupsi KTP elektronik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Massa yang tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) melakukan demonstrasi terkait kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektonik (KTP-el) di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (21/3). Mereka menyampaikan beberapa tuntutan dalam demonstrasi tersebut.

Ketua Umum SPRI Marlo Sitompul mengatakan demonstrasi ini sebagai bentuk dukungan untuk KPK agar mengusut kasus korupsi KTP-El ini sampai tuntas. Juga menangkap semua koruptor KTP-el, mengupayakan pengembalian uang dari kerugian negara kasus tersebut, dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada koruptor KTP-el, yakni hukuman mati.

"Mendesak negara untuk segera mengeluarkan surat pelarangan partai-partai yang terlibat korupsi KTP-el agar tak bisa ikut pemilu," tutur dia, Selasa (21/3).

Marlo melanjutkan, SPRI juga mengajak masyarakat untuk melaporkan kelurahan atau jaringan birokrasi yang masih lambat dalam mengurus KTP-el. Makin banyak kasus-kasus yang terkuak, maka makin baik pula bagi penegakan antikorupsi di Indonesia. 

"Aksi massa ini sekaligus aksi simbolis dengan menyerahkan tiang gantung dan kain kafan untuk koruptor kepada KPK," kata dia.

Menurut Marlo, terbukanya kasus megakorupsi KTP-el ini adalah dasar dari gunung es di mana puncaknya tercermin melalui carut-marutnya pelayanan KTP-el. Sepanjang proyek KTP-el mulai dijalankan, pelayanannya sama sekali tidak memuaskan. Misalnya masalah ketidaktersediaan blangko.

"Soal ketersediaan infrastruktur juga jadi masalah. Seperti tidak adanya jaringan internet, hingga alat perekam yang terbatas dan cepat rusak. Ini menambah rumit pengurusan KTP-el."

"Yang harusnya sudah bisa diperoleh maksimal 14 hari setelah perekaman data, malah tidak juga muncul. Banyak warga menunggu bahkan hingga berbulan-bulan," ucap dia. 

Marlo mengatakan angka kerugian negara dari kasus KTP-el sebesar Rp 2,3 triliun ini setara dengan dana BOS untuk 2,5 juta pelajar SD dengan asumsi Rp 800 ribu per orang, 2,3 juta pelajar SMP, atau 1,4 juta pelajar SMA/SMK. Angka itu juga setara dengan upah UMR DKI Jakarta untuk 686 ribu buruh. Selain itu, nilai kerugian itu juga setara dengan satu per tiga alokasi APBD DKI Jakarta untuk kesehatan yang mencapai Rp 8,3 triliun. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement