Senin 20 Mar 2017 13:15 WIB

Kendala Mencopot Ahok

Terdakwa kasus dugaaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan salam dua jari saat memasuki ruang sidang Koesumah Atmadja, Eks Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (27/12).
Foto: Republika/Dian Fath Risalah
Terdakwa kasus dugaaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan salam dua jari saat memasuki ruang sidang Koesumah Atmadja, Eks Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (27/12).

Oleh: Djohermansyah Djohan*

Isu pemberhentian kepala daerah pada era otonomi daerah dewasa ini selalu menjadi perhatian publik. Pemerintah tentu “kenyang” menghadapi perkara ini. Misalnya, kasus Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo yang memenangi pilkada pada tahun 2010 walaupun menjadi terdakwa. Yang bersangkutan dilantik dulu dan pada hari yang sama diberhentikan sementara. Lalu wakilnya ditunjuk sebagai pelaksana tugas bupati supaya pemerintahan tetap berjalan. Publik mengeritik, “terdakwa kok dilantik”, “itu tidak etis”, teriak pengamat.

Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditahan KPK karena tindak pidana korupsi. Mereka meskipun dalam tahanan namun tetap memimpin provinsinya, karena masih berstatus tersangka (belum terdakwa), sehingga tidak bisa diberhentikan sementara. Penyelenggaraan pemerintahan provinsipun terganggu. Wakil gubernur tidak berwenang menandatangani surat, apalagi peraturan daerah.

Pemerintah keluar dengan solusinya melalui UU No.23/2014, bila kepala daerah menjadi tersangka dan ditahan, maka wakilnya melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. Gubernur Riau Annas Ma’mun “korban” pertamanya. Publik mengapresiasi pemerintah.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dengan register Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.1537/Pid.B/2016/Pn.Jkt-Ut ditetapkan sebagai terdakwa penistaan agama dan telah pula disidangkan perkaranya sejak 13 Desember 2016. Tetapi dia tidak ditahan.

Pertanyaannya kemudian, bukankah Ahok telah berstatus terdakwa? Bukankah ancaman hukumannya sudah 5 (lima) tahun penjara? Mengapa Presiden Joko Widodo belum memberhentikan dan Mendagri Tjahjo Kumolo sampai “pasang badan”. Publik pun menyoal “beleid” pemerintah. Bahkan, empat fraksi di DPR mengusulkan hak angket.

Filosofi Pemberhentian

Gubernur adalah primus inter pares atau first among equal, yaitu orang nomor satu di daerahnya. Di wajahnya cermin keteladanan dan kewibawaan (gezag) pemerintahan. Dia pemimpin penyelenggaraan pemerintahan provinsi sekaligus wakil pemerintah pusat yang bertanggungjawab atas tata kelola pemerintahan yang baik dan mengawal segala kepentingan nasional.

Itulah sebabnya kalau ada “arang tercoreng di keningnya” seperti terkena ancaman pidana berat dan/atau melakukan perbuatan memecah belah NKRI, maka dia tidak boleh “memegang” pemerintahan sampai perkaranya selesai tuntas. Dengan begitu, pemerintahan “aman” dan yang bersangkutan bisa fokus mengurus kasus hukumnya. Jika nanti terbukti dia tidak bersalah (inkracht), presiden merehabilitasinya. Dia bisa diaktifkan kembali.

Bagaimana kalau dia sedang mencalonkan diri dalam pilkada? Hak politiknya untuk dipilih, memilih, dan berkampanye tidak gugur walaupun menyandang predikat terdakwa. Malahan, kalau dia hebat sekali, dia bisa memenangkan pemilihan.

Dakwaan atau tuntutan?

Kapan kepala daerah diberhentikan sementara? Norma di dalam pasal 83 ayat (1) UU Pemda No.23/2014 cukup jelas kepala daerah diberhentikan sementara ketika “didakwa” melakukan tidak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, bukan ketika dituntut jaksa atau divonis hakim.

Memang dalam pasal 30 ayat (1) UU Pemda terdahulu No.32/2004, khususnya pemberhentian sementara kepala daerah yang melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dilakukan setelah ada putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Tetapi, bagi yang melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda No.32/2004, mereka diberhentikan sementara ketika berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan (didakwa).

Di dalam UU Pemda yang baru No.23/2014 waktu pemberhentian sementara kepala daerah baik yang melakukan tindak pidana korupsi dan lain-lain, maupun tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, adalah ketika yang bersangkutan menjadi terdakwa yang dibuktikan dengan register perkara dari pengadilan. Jadi, UU Pemda No.23/2014 telah mengoreksi ketentuan pasal 30 ayat (1) UU Pemda No.32/2004, karena bila pemberhentian sementara kepala daerah menunggu vonis maka berdampak pada efektivitas pelaksanaan tugas kepala daerah.

Dalam kasus Gubernur DKI Ahok, pemerintah menghadapi kendala untuk mencopotnya sementara, karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak tegas tetapi memakai dua alternatif. Pertama, pasal 156a KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Kedua, pasal 156 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun.

Seingat saya, belum pernah ada dakwaan Jaksa terhadap kepala daerah seperti ini. Karena itu, pemerintah tampak bingung. Mendagri Tjahjo Kumolo mencoba meminta fatwa ke Mahkamah Agung, namun ditolak. Kebijakan pemerintah kemudian menunggu dibacakannya tuntutan. Bila tuntutannya 5 tahun barulah Gubernur Ahok diberhentikan sementara, tetapi jika kurang dari 5 tahun, maka dia tetap memimpin DKI Jakarta hingga akhir masa jabatannya 15 Oktober 2017.

Implikasi Politik

Empat fraksi dan sekitar 100 orang anggota DPR telah mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran Pasal 83 ayat (1) UU Pemda No.23/2014 oleh Presiden, karena tidak memberhentikan sementara Gubernur Ahok.

Tentu saja tidak mudah menggolkan hak angket ini di DPR yang kekuatan mayoritasnya dikuasai oleh parpol pendukung pemerintah. Sebab untuk bisa diterima menjadi hak angket, harus disetujui oleh separoh plus satu anggota dewan yang hadir.

Ke depan, kalau ada revisi UU Pemda No.23/2014 sebaiknya pasal 83 ayat (1) diubah. Pertama, kalimat “paling singkat 5 tahun” diganti menjadi “5 tahun atau lebih”. Kedua, dibuat ayat (2) baru, apabila JPU mendakwa secara alternatif, maka pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilakukan setelah tuntutan dibacakan.

20 Maret 2017

 

*DJOHERMANSYAH DJOHAN

Dirjen OTDA Kemendagri (2010-2014)/Presiden i-OTDA

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement