Jumat 17 Mar 2017 07:07 WIB

Masyarakat Dinilai Perlu Pelatihan Anti-Hoax

 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Rachmah Ida mengatakan masyarakat perlu menerima adanya pelatihan "anti-hoax" agar tidak mudah percaya terhadap informasi yang berkembang terutama di media sosial.

"Pelatihan itu lebih tepatnya dalam bentuk literasi media sosial," kata dia saat Gelar Inovasi Guru Besar bertema "Peran Aktif Masyarakat Menghadapi Hoax di Media Sosial" di kampus setempat, Kamis (17/3).

Dia menjelaskan, menurut penelitian yang dia buat pada ibu rumah tangga di perkampungan menunjukkan, ibu rumah tangga saat ini menonton acara televisi kini melalui handphone secara streaming.

"Mereka beralasan televisi selalu disuguhi berita-berita politik. Ini menunjukkan kalau media tidak menyadari content (isi siaran) maka akan terjadi disfungsi media. Kalau sudah demikian, pesan yang disampaikan tidak tersampaikan, apalagi punya efek," tutur Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Timur itu.

Dia mengatakan edukasi kepada masyarakat akan lebih mengena dibanding pembentukan Satuan Petugas (Satgas) antihoax oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. "Gerakan antihoax setelah terbentuk, setelah itu apa yang dilakukan? Gaungnya sekarang tidak terdengar lagi. Setelah itu selesai," ujarnya.

Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Unair Prof Didik Endro Purwoleksono mengatakan hukum di Indonesia saat ini "terseok-seok" menghadapi perkembangan teknologi informasi (TI) terutama maraknya hoax atau berita bohong di media sosial.

Dia mengatakan penambahan pasal melalui revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi salah satu bukti sekaligus respon pesatnya perkembangan TI.

"Berita di internet bisa jadi benar dan tidak benar. Keberadaan satgas anti hoax perlu karena ini menyangkut pidana. Cuma yang harus dipertegas, satgas tupoksinya apa dan perbuatan apa yang bisa ditindak satgas? Semua harus jelas," kata dia.

Menurut Didik Endro, Undang-Undang sebenarnya harus didukung perangkat lain yang berfungsi baik. Di antaranya, mentalitas pejabat, sarana prasarana serta kesadaran hukum.

Terlebih pada mentalitas aparat sebagai kunci. Mentalitas pejabat tidak luput sebagai salah pemicu munculnya berita hoax. Bahkan masyarakat bisa sebagai produsennya.

Sementara itu Guru Besar Fakultas Psikologi Unair Prof Cholichul Hadi mengatakan banyak tokoh hebat yang menjadi korban berita hoax. "Oleh karena itu tidak usah takut, apalagi membentuk satgas antihoax. Itu alamiah, yang penting (berita hoax) tidak berdasar kepentingan kelompok," ujar Cholichul. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement