Rabu 15 Mar 2017 16:38 WIB

Ini Lima Pendapat Keagamaan Muhammadiyah Jakarta Soal Pilkada DKI

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Teguh Firmansyah
Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta mencermati ada kecenderungan tidak sehat dalam relasi sosial-keagamaan di masyarakat. Hal itu terkait dinamika pemahaman keagamaan seputar Pilkada DKI Jakarta, pascakontroversi penistaan agama.

MTT PWM DKI Jakarta pun menyampaikan beberapa pokok pandangan dan imbauan keagamaan.  Pendapat keagaaman itu ditandatangani oleh Ketua KH Endang Mintarja, Sekretaris Izza Rohman dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jakarta Husni Thoyar.

Berikat pandangan dan imbauan keagamaan Muhammadiyah Jakarta;

1. Memilih kandidat pemimpin lewat proses demokrasi dengan mempertimbangkan keyakinan, agama atau tingkat pengamalan ajaran agama dari kandidat yang ikut kontestasi dalam pilkada, tidak bertentangan dengan ajaran Alquran dan Sunnah. Bahkan adalah hal yang baik yang mendukung tercapainya kemaslahatan umat dan bahkan seluruh warga negara. Oleh karena itu, menuding sikap atau pilihan itu sebagai sikap picik, tidak demokratis, inkonstitusional, memecah-belah, intoleran atau anti-kebinekaan adalah hal yang mencerminkan mispersepsi terhadap ajaran agama sebagai rahmat.

Negara Pancasila sebagai darul ahdi wasy-syahadah memberi ruang yang lapang bagi pendalaman dan pengamalan ajaran agama, tentang kehidupan sosial-politik yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua pihak yang berkontestasi dalam demokrasi di Indonesia tidak sepatutnya mudah menuding orang lain yang mendasarkan sikapnya dalam berdemokrasi pada ajaran agama sebagai tidak demokratis atau memecah-belah.

2. Ulama adalah sebutan untuk orang-orang yang memiliki kualifikasi tinggi sebagai penyampai ajaran-ajaran tauhid dan pengetahuan keislaman. Sekalipun dalam berijtihad ulama bisa berbeda pendapat, dan mereka juga memiliki bidang kepakaran ilmu yang tidak sama, namun mereka tetaplah figur-figur yang harus dihormati karena ilmu, akhlak mulia dan amal saleh mereka. Tidaklah bijak untuk melabeli para ulama dengan sebutan-sebutan yang merendahkan. Di antara sesama ulama, hormat-menghormati juga semestinya diteladankan.

3. Menuduh orang lain sebagai munafik adalah perkara besar. Tidak ada contoh dari Rasulullah dan para sahabat (yang mereka inilah para mu‘allim Alquran) untuk dengan mudah menuduh orang lain yang mengaku beriman sebagai munafik. Kemunafikan (nifaq) adalah sikap menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran. Orang munafik adalah orang yang berpura-pura menampakkan keimanan padahal tidak memiliki iman sama sekali.

Baca juga Ini Sikap Menag Soal Spanduk Tolak Shalatkan Jenazah Pembela Penista Agama.

Sekalipun tanda-tanda kemunafikan disebut dalam Alquran dan Sunnah, tidak diperbolehkan menuding orang sebagai munafik hanya karena tampak darinya salah satu dari tanda tersebut. Menuding orang sebagai munafik pada hakikatnya sama dengan menuding orang itu sebagai kafir. Menuding orang yang bersyahadat (apalagi melaksanakan shalat, berzakat dan berinfak, berpuasa serta menunaikan haji dan umrah) sebagai kafir tidak dibenarkan dalam Islam.

Ketidaksempurnaan dalam pengamalan aspek-aspek ajaran Islam tidak serta merta membuat seseorang terdefinisi sebagai munafik atau kafir. Semua pihak hendaknya menahan diri untuk tidak dengan gampangnya menyikapi perbedaan pandangan dengan melakukan pelabelan keagamaan (menyebut orang lain termasuk kategori buruk tertentu dengan suatu istilah agama sebagai bentuk penghakiman).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement