Selasa 14 Mar 2017 10:44 WIB

Berselingkuh dengan Komunis

Sukarno dan DN Aidit di acara peringatan ulang tahun PKI ke-45 di Istora Senayan tahun 1964.
Foto: foto : Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka.
Sukarno dan DN Aidit di acara peringatan ulang tahun PKI ke-45 di Istora Senayan tahun 1964.

Oleh: Selamat Ginting

Angin merah dari arah kiri berembus menembus ruang-ruang istana kepresidenan. Sebagai kekuatan politik yang dianggap paling progresif dan revolusioner, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan tempat tersendiri di mata Pemimpin Besar Revolusi, Sukarno.

“Sang presiden pada 1963 hingga 1965 banyak ‘memberi angin’ kepada partai komunis itu dibandingkan kepada partai-partai politik lainnya,” kata Cosmas Batubara dalam biografi politiknya.

PKI memang luar biasa. Partai berlambang palu arit itu merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.

Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta orang. Ditambah 3 juta orang dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota. Juga pergerakan petani melalui Barisan Tani Indonesia (BTI) yang mempunyai 9 juta anggota.

Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta pergerakan sarjananya. Sehingga, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung. Atau seperlima dari jumlah penduduk Indonesia tahun 1965. Jumlah penduduk Indonesia pada 1965 sekitar 100 juta jiwa.

Kebangkitan PKI diawali dalam Pemilu 1955. Hanya tujuh tahun setelah peristiwa pemberontakan Madiun. Partai ‘kiri merah’ itu tampil sebagai kekuatan keempat di bawah partai PNI (22 persen), Masyumi (20 persen), NU (18 persen), dan PKI (16 persen). Kemudian memanfaatkan momentum 5 Juli 1959. Saat itu, presiden Sukarno membubarkan parlemen dan menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden.

PKI merupakan kekuatan paling antusias menyambut Demokrasi Terpimpin. Apalagi setelah Bung Karno membuat persekutuan konsepsi, antara nasionalis, agamis, dan komunis yang dinamakan Nasakom. Nasionalis (PNI), agama Islam tradisional (NU), dan komunis (PKI). Masyumi menolak masuk dalam konsepsi tersebut. Partai Islam modernis itu kemudian dibubarkan Sukarno.

Maka, PKI merasa memiliki mandat untuk masuk dalam konsepsi tersebut. PKI menilai, pihak-pihak yang tidak bisa menyetujui gagasan Nasakom sebagai kontrarevolusi dan harus ditekan. Di situ Sukarno ‘berselingkuh’ dengan komunis untuk memperkuat kedudukannya sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement