REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Peneliti Timur Tengah, Naser Al-Tamimi melihat tur kenegaraan Raja Salman ke sejumlah negara di Asia sebagai kemungkinan pembentukan aliansi baru. Ini karena Arab Saudi melihat kebijakan salah satu negara mitra terkuatnya, Amerika Serikat di bawah pimpinan Donald Trump tidak jelas.
"Hal ini bisa dilihat dari beberapa tahun terakhir di mana Arab Saudi meningkatkan kerja sama militer dan keamanan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Pasukan khusus Arab Saudi telah dilatih di Cina. Di Malaysia, Raja Salman juga menandatangani perjanjian kerja sama militer dan mendirikan King Salman Center for Global Peace," kata Naser, dilansir dari Arab News, Ahad (12/3).
Saat berpidato di Gedung MPR/ DPR Indonesia, Raja Salman juga menyerukan dibentuknya persatuan negara untuk memerangi terorisme global. Raja Salman dan rombongannya sekitar seribu orang berikutnya akan berkunjung ke Jepang. Arab Saudi menjadi salah satu mitra dagang terkuat Jepang karena negara tersebut menjadi pemasok minyak utama di Negara Matahari Terbit. Kunjungan Raja Salman ke Jepang mulai Ahad (12/3) ini diperkirakan mendorong kemitraan berkelanjutan kedua negara di berbagai bidang.
Hubungan bilateral Arab Saudi-Jepang dimulai 1938. Hingga 80 persen pasokan minyak Jepang bergantung pada Negara Teluk di mana 41 persennya dipenuhi Arab Saudi.
Pada 2014, kata Naser, kedua negara sempat mendiskusikan kemungkinan ekspor reaktor nuklir Jepang ke Arab Saudi. Ekspor Arab Saudi ke Jepang meningkat dari 13,1 miliar dolar AS menjadi 42,5 miliar dolar AS.
Putra Mahkota Arab Saudi dua tahun lalu telah lebih dulu mengunjungi Jepang. Ini menandakan Arab Saudi mencari peluang investasi baru di luar gejolak Dunia Arab. Setelah Jepang, Raja Salman akan melanjutkan perjalanan ke Beijing.
Baca juga: Menteri Agama Ungkap Alasannya Beri Mushaf Istiqlal ke Raja Salman