REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab tidak setuju dengan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebutkan bahwa memilih pemimpin berdasarkan agama melanggar konstitusi.
"Ini juga penghinaan kepada ulama dan umat Islam karena para ulama dan umat Islam yang memilih dalam Pilkada banyak berdasarkan agama," kata Rizieq yang dihadirkan sebagai ahli dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (28/2).
Rizieq menjelaskan tidak boleh melarang umat Kristiani memilih pemimpin Kristiani atau pun umat Buddha yang memilih pemimpin Buddha.
"Itu dijamin oleh konstitusi, dijamin oleh batang tubuh UUD 1945 baik Pasal 28 maupun Pasal 29 ayat 1. Setiap warga negara berhak untuk menjalankan ibadahnya sesuai keyakinannya masing-masing. Kami umat Muslim punya keyakinan memilih pemimpin non-Muslim itu haram. Itu keyakinan dan itu tidak melanggar konstitusi," jelasnya.
Ia menjelaskan dalam konteks Surat Al-Maidah ayat 51 apabila kita berbicara kepemimpinan eksekutif mencakup bupati, wali kota, gubernur sampai presiden bahwa sudah seyogyanya di wilayah mayoritas Muslim memilih pemimpin Muslim.
"Sementara kalau di wilayah mayoritas non-Muslim seperti di Bali dipimpin oleh orang Hindu, di Papua dipimpin orang Kristen atau pun di Manado dipimpin orang Kristen. Itu sesuatu yang proporsional karena di wilayah itu mayoritas kalangan mereka, di tempat seperti itu tidak apa-apa umat Islam dipimpin oleh mereka," ucap Rizieq.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara. Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.