Sabtu 25 Feb 2017 06:53 WIB

Hasil Penyelidikan Komnas HAM Soal Freeport Bisa Dijadikan Bahan Gugatan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Nidia Zuraya
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2). Komnasham menilai masyarakat suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2). Komnasham menilai masyarakat suku Amungme yang menguasai tanah hukum adat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM melakukan penyelidikan terkait lahan masyarakat adat yang dijadikan sebagai lokasi tambang oleh PT Freeport Indonesia. Hasil penyelidikan tersebut menyebutkan pemerintah telah mengambil alih lahan milik masyarakat adat Suku Amungme di wilayah hukum adat Amungsa.

Karena itu, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai, mendesak PT Freeport Indonesia dan juga pemerintah untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi tanah masyarakat adat berupa pemberian saham dari perusahaan tambang tersebut. Hasil penyelidikan Komnas HAM inipun, lanjut dia, dapat menjadi bahan gugatan masyarakat adat Suku Amungme ke arbitrase internasional apabila tuntutan tersebut tak dikabulkan.

"Hasil penyelidikan Komnas HAM itu bisa dijadikan salah satu bukti untuk bisa digugat di lembaga peradilan di Indonesia bahkan internasional. Jadi masyarakat Amungme bisa pakai ini untuk bisa ajukan gugatan termasuk gugatan ke arbitrase internasional kalau pemerintah dan PT Freeport tidak mengabulkan bahwa untuk dimasukan dalam proses divestasi," jelas Natalius di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (24/2). 

Hasil penyelidikan Komnas HAM itu, kata dia, didapatkan melalui permintaan keterangan terhadap Pemkab Mimika, PT Freeport Indonesia, serta pemerintah yang di antaranya Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Pertanahan Nasional. 

"Ini hasil penyelidikan resmi dan kami sudah kroscek meminta keterangan dari masing-masing dan tidak pernah ada transaksi jual beli, dengan demikian ini rampasan tanah," ujarnya. 

Natalius menjelaskan, kesepakatan dalam kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport pada 7 April 1967 tersebut tak melibatkan masyarakat adat, termasuk Suku Amungme yang memiliki wilayah itu.

Sementara, Suku Amungme baru melakukan perundingan dan penandatanganan perjanjian pada 8 Januari 1974 dengan PT Freeport Indonesia di bawah pengawasan pemerintah Indonesia. Saat Kontrak Karya, Papua belum resmi sebagai bagian dari NKRI, sebab status Papua masih di bawah pengawasan PBB melalui UNTEA. Papua sendiri resmi masuk NKRI pada 1 Mei 1969. 

Ia mengatakan, selama ini kehadiran PT Freeport hanya memberikan manfaat finansial terhadap pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari komposisi pemegang saham PT Freeport Indonesia, yakni 9,36 persen dimiliki oleh pemerintah RI, 9,36 persen dimiliki PT Indocopper Investama, dan 81,28 persen dimiliki oleh Freeport-McMoran Copper&Gold.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement