Senin 20 Feb 2017 06:10 WIB

Kiai Takut tidak Islam

Soenarwoto Prono Leksono
Foto: istimewa
Soenarwoto Prono Leksono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H Soenarwoto Prono Leksono

KH Mohamad Ngadiyin adalah jamaah umrah kami keberangkatan Desember 2016. Mbah Ngadiyin begitu sapaan KH Mohamad Ngadiyin, itu pemimpin pondok pesantren sekaligus pimpinan tarekat ternama di kalangan nahdliyin. Karenanya, Mbah Ngadiyin sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat di daerah kami.

Mbah Ngadiyin memang layak dihormati dan disegani. Ilmu agamanya tinggi juga seorang yang alim. Hidupnya tertib,  bersahaja, dan rendah hati. Dia tak suka ngumbar bicara di khalayak riuh. Enggan membusungkan dada, bahwa dirinya  sebagai seorang kiai. Malah, Mbah Ngadiyin selalu berusaha menyembunyikan jatidirinya, apalagi kepada lain yang belum dikenalnya.

Meski begitu, dia tak jaga jarak dan tak jaga imej sebagai seorang kiai. Mbah Ngadiyin sangat membaur dengan sesama. Selama di tanah suci, saat melaksananakan ibadah umrah, dia terlihat runtang-runtung dengan jamaah lain--meski berbeda ormas keagamaannya. Mbah Ngadiyin seperti sedang mengejawentahkan pemahaman "sesama muslim itu bersaudara". Menjaga kebersamaan.

Dan penting dicatat bahwa, Mbah Ngadiyin saat di tanah suci sangat rajin beribadah. Dia selalu datang ikut shalat fardlu sebagai makmum di Masjid Nabawi dan Masjidilharam. Dia juga giat menjalankan ragam shalat sunah dan sibuk berzikir. Hal ini yang membuat jamaah tambah kagum terhadap Mbah Ngadiyin.

"Nyuwun pangapunten Mbah Ngadiyin, panjenengan niki sampun kasebut kiai, kok nggih tasih nderek keponthalan ngibadah kados jamaah. Napa tasih kirang ganjaranipun (Mohon maaf  Mbah Ngadiyin, panjenengan ini sudah berpredikat sebagai kiai, kok ya masih ikut bersusah payah beribadah seperti jamaah. Apa masih kurang pahalanya)," tanya seorang jamaah saat hendak berangkat ke Masjidilharam.

Mbah Ngadiyin terdiam ketika mendapat pertanyaan tersebut. Tidak segera menjawab. Dia melambatkan langkahnya, namun tidak lama kemudian tersenyum. Senyumnya meneduhkan hati. Ini yang bikin orang lain merasa nyaman di dekatnya. Maka, tak sedikit jamaah suka mengitarinya, untuk mendapat wejangan sekaligus bertanya tentang  keberadaan Mbah Ngadiyin.

"Kiai itu kan orang lain yang memanggilnya, karena seseorang itu dianggap tinggi ilmu agamanya. Begitulah pemahaman di masyarakat kita. Padahal, saya yang dipanggil kiai ini, juga tidak lantas merasa jumawa," jawab Mbah Ngadiyin dengan tutur kata yang lembut.

Jamaah yang bertanya cuma clingak-clinguk karena tak bisa menangkap kata-kata Mbah Ngadiyin yang berkias dan penuh makna itu. Agar jamaah tak kehilangan muka atas kedangkalan berpikirnya, Mbah Ngadiyin lalu menjlentrehkan secara gamblang dengan mencontohkan kisah Nabi Muhammad SAW.

"Sampean itu gimana to mas. Simaklah kisah Nabi Muhammad SAW. Beliau itu kekasih Allah,  beliau itu sudah dijamin masuk surga. Tapi, beliau itu siang malam masih tetap beribadah. Setiap menit, setiap detik, setiap helaan nafas beliau selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Lha saya ini apa, cuma kiai saja kok mau berani sembrono bermalas-malasan beribadah," jelas Mbah Ngadiyin.

Mendengar penjelasan ini jamaah tambah tertunduk wajahnya di hadapan Mbah Ngadiyin. Hormat dengan penuh takzim. "Meskipun saya sekarang terlihat di mata orang rajin beribadah, itu juga belum tentu ibadah saya diterima oleh Allah SWT. Bahkan saya takut, apakah saya ini sudah benar-benar diterima sebagai pemeluk Islam," tanya diri Mbah Ngadiyin.

Subhanallah. Para jamaah seketika memuji keagungan Allah SWT. Para jamaah pun kian hormat dengan kerendahan hati Mbah Ngadiyin. Sebab, banyak di antara kita sekarang khususnya dalam musim Pilkada ini suka membusungkan dada dan lantang berkata, "Saya Islam, tapi saya pilih pemimpin non-muslim."

Padahal, belum tentu mereka itu sudah benar-benar beribadah dengan sempurna. Menjalankan semua rukun Islam dengan istiqomah dan thumakninah. Maaf. Malah mereka mungkin cuma Islam KTP. Tapi, mereka sudah berani "menjual" keislamannya. Astaghfirullah! Untuk ini, kami kemudian mencium tangan Mbah Ngadiyin di depan Baitullah. Barakallah.

*) penulis tinggal di Surabaya

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement