REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai sejak lama tidak menaruh perhatian pada industri pertahanan dalam negeri sehingga belum mampu memproduksi sendiri persenjataan. Indonesia masih lebih banyak menggantungkan diri pada negara lain dalam hal suplai persenjataan baik untuk angkatan darat, laut dan udara.
Dosen Universitas Pertahanan, Andrea Abdul Rahman mengatakan, salah satu permasalahan yang membuat industri dalam negeri belum mampu membuat alat pertahanan secara masif dikarenakan minimnya transfer ilmu dari negara-negara yang selama ini menyuplai produk pertahanan. Transfer ilmu urung terjadi karena Indonesia dinilai tidak serius dalam hal tersebut.
"Frame work negara kita ini tidak serius mengurusi pertahanan. Jadi negara lain juga malas untuk membantu Indonesia," kata Andre dalam sebuah diskusi di Cikini, Ahad (19/2).
Ketikdseriusan itupun terlihat dari anggaran yang dikucurkan Pemerintah untuk sektor pertahanan, khususnya dalam pembelian Alutsista. Minimnya dana untuk memperkaya pertahanan ini membuat TNI kesulitan dalam meyakinkan industri pertahanan lain untuk membantu Indonesia. Sebab, trasnfer ilmu ini bisa diberikan ketika banyak produk pertahanan yang dibeli dari industri tersebut.
Managing Director Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan, dalam undang-undang pertahanan No 16 tahun 2012 sebenarnya telah dijelaskan bahwa pembelian alat pertahanan dari luar negeri mewajibkan ada imbal dagang, kandungan lokal, dan 'offset'. Pembelian dari luar negeri pun mengharuskan pemeliharaan di dalam negeri.
Namun, pada praktiknya, penerapan undang-undang ini sulit dijalankan. Sebab proses dalam perdagangan yang mengharuskan adannya kandungan lokal atau transfer ilmu justru tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah.
"Nah kemauan dari pemegang kekuasan dan pemerintah untuk bisa merebut teknologinya dan memproduksi itu (alat pertahanan) seharusnya bisa," kata Toto.