Selasa 14 Feb 2017 15:45 WIB

Indonesia Terancam Krisis Garam?

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Winda Destiana Putri
Garam
Foto: pixabay
Garam

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Akibat cuaca, panen garam di Indonesia banyak yang mengalami gagal panen. Menurut Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara, kondisi gagal panen tersebut menyebabkan Indonesia terancam kekurangan garam. Karena, jumlah stok dan kemampuan produksi dalam negeri tak bisa mengimbangi kebutuhan garam secara keseluruhan.

Cucu mengatakan, kebutuhan garam nasional setiap tahunnya mencapai 4,23 juta ton. Sedangkan stok yang ada saat ini hanya 112.671 ton. Sementara, jumlah produksi garam dalam negeri pada 2016 kemarin hanya 116 ribu ton. "Tahun kemarin gagal panen karena la nina (kemarau basah)," ujar Cucu kepada wartawan di Bandung, Selasa (14/2).

Menurut Cucu, selama musim kemarau basah, semua sentra garam di Indonesia produksinya minim. Di antaranya, di Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. "Tapi walaupun cuacanya bagus, ketika musim panas, maksimum produksi memang hanya 1,9 juta ton per tahun," katanya.

Kebutuhan garam untuk industri, kata dia, lebih besar dibanding konsumsi rumah tangga. Dalam setahun, kebutuhan garam untuk konsumsi rumah tangga hanya 750 ribu ton per tahun, sedangkan untuk industri lebih dari tiga juta ton.

Kebutuhan untuk industri tersebut, kata Cucu, terbagi ke dalam beberapa kategori. Yakni aneka pangan, tekstil, farmasi, pengeboran minyak, sabun/detergent, dan kertas. Untuk aneka pangan kebutuhannya 450 ribu ton (per tahun), pengasinan ikan 400 ribu ton, pengeboran minyak 50 ribu ton, penyamakan kulit 50 ribu ton, farmasi 3.000 ton, sabun/detergent 30 ribu ton, tekstil 200 ribu ton, dan petrokimia dan kertas 2,05 juta ton.

Selain minimnya jumlah produksi, kata dia, kualitas garam lokal pun belum membanggakan. Garam yang dihasilkan petani lokal tidak mampu memenuhi standard industri. Jadi, hanya bisa digunakan untuk konsumsi rumah tangga. "Garam lokal, belum bisa memenuhi standard untuk kebutuhan pangan, kertas, dan lainnya. Misalnya untuk foodgrade, itu di atas 97,5 nacl," katanya.

Oleh karena itu, Cucu meminta pemerintah agar segera mencari solusi terkait menipisnya stok garam saat ini. Jika dibiarkan tanpa solusi, Ia khawatir akan berdampak signifikan terhadap banyak sektor seperti ekonomi dan kesehatan.

Karena, kata dia, saat ini banyak industri makanan yang produksinya terancam dihentikan akibat ketiadaan garam. Industri tersebut, menggunakan garam sebagai salah satu bahan utama jadi keberadaannya tidak bisa digantikan. "Padahal, untuk ekspor aneka pangan saja, devisa yang dihasilkan 19 miliar dolar," katanya.

Artinya, kata dia, kalau produksi terhenti, dapat dibayangkan dampaknya akan ada PHK di mana-mana karena industri berhenti. Selain itu, bisa saja banyak pengusaha yang hengkang ke luar (negeri).

Selain industri, kata dia, sektor kesehatan pun sangat membutuhkan garam. Misalnya, untuk pembuatan cairan infus, membutuhkan garam sebagai salah satu bahannya. Bahkan, saat ini terdapat rumah sakit di Aceh yang sudah kekurangan cairan infus. "Karena produksi pabriknya berhenti karena enggak ada bahan baku," katanya.

Cucu menilai, untuk mengatasi kondisi ini, salah satu solusi terbaiknya adalah meminta pemerintah segera mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan tahun ini. Karena, saat ini pemerintah tergolong lamban dalam menetapkan kebijakan tersebut. Hal itu, terlihat pada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian yang memiliki kewenangan kebijakan impor tersebut belum menentukan sikap. Hingga saat ini, Menteri Kelautan dan Perikanan tak kunjung menerbitkan surat gagal panen sebagai dasar impor garam untuk kebutuhan rumah tangga.

"Kami mendesak pemerintah segera mengimpor garam. Kementerian Perindustrian harus segera memutuskan impor, industri sekarang sudah kelabakan karena tidak ada garam," katanya. Alasan Kementerian Kelautan dan Perikanan tak mengimpor garam, kata dia, adalah masih simpang siurnya data terkait jumlah produksi dan kebutuhan garam Tanah Air. "Padahal sudah jelas datanya," katanya.

Padahal, kata Cucu, Asosiasi sudah memiliki data yang lengkap terkait hal itu. Karena, meskipun Indonesia memiliki garis pantai yang luas, namun tidak seluruhnya mampu memproduksi garam dengan baik."Luas pantai yang kaitannya garam hanya mitos. Tidak semua pantai menghasilkan garam," katanya.

Dari seluruh garis pantai yang ada, kata dia, hanya 26,06 ribu ha yang mampu menghasilkan garam. Setiap hektarenya mampu menghasilkan 60-70 ton garam per tahun. Paling banyak di Jawa Timur, Madura. Sisanya,di Jawa Barat, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

Produksi garam di Indonesia, kata dia, belum optimal karena beberapa penyabab. Di antaranya, selama ini, petani memproduksi garam dengan cara-cara sederhana, luas lahan yang tak bertambah dan teknologinya masih tradisional.

Jadi, kata Cucu, pemerintah harus meningkatkan kemampuan petani garam agar lebih optimal. Karena,  di luar negeri yang sudah menggunakan teknologi dalam memproduksi garam. "Kalau di Australia, garam diproduksi perusahaan dengan teknologi mutakhir," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement