Senin 13 Feb 2017 11:29 WIB

Mau Sampai Kapan TKI Mati di Laut?

Sebuah speed boat dari Tawau Malaysia saat tiba di Pelabuhan Sei Nyamuk Pulau Sebatik Nunukan, beberapa waktu lalu.
Foto: ANTARAFOTO
Sebuah speed boat dari Tawau Malaysia saat tiba di Pelabuhan Sei Nyamuk Pulau Sebatik Nunukan, beberapa waktu lalu.

Oleh Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Pada Selasa (7/2) lalu, sebuah speedboat dihantam ombak di perairan Batu Payung, Tawau, Sabah, Malaysia. Sebanyak 15 penumpang dan dua awak tenggelam. Sedikitnya 14 penumpang yang seluruhnya WNI ditemukan sudah tak bernyawa. Perahu tersebut tanpa manifes penumpang yang artinya ia berangkat tak dari jalur resmi.

Di antara para penumpang yang meninggal, ada sejumlah anak anak. Di antaranya Muhd Faiz (6 tahun), Muhd Asraf (9), Nur Hafizah (2), dan Nur Ainun (1) yang jenazahnya baru ditemukan pada Ahad (12/2). Nur Ainun adalah anak dari Budiman Mursalim (26) dan Hasmidah Massaniga (24) yang disebut bekerja sebagai TKI ilegal di Sabah. Seorang korban meninggal bernama Hadra Hadda (40) juga diketahui tengah hamil dengan janin berusia lima bulan yang juga tak berhasil diselamatkan.

Beberapa waktu lalu, saya sempat mencoba jalur yang serupa yang dilalui perahu nahas tersebut untuk sampai ke Indonesia. Perjalanan itu dimulai sekira 200 meter di sebelah timur pintu masuk Pelabuhan Tawau. Di lokasi itu, ombak dari laut dihalau dengan tumpukan batu-batu besar. Bahkan sebelum matahari naik, biasanya sudah bersandar setidaknya satu perahu kayu bermesin di tepi laut yang hanya bisa dinaiki sampai empat orang belum termasuk pengemudi. Lokasi itu bukan dermaga resmi. 

Setiba di lokasi tersebut, tanpa basa-basi, “joki” yang sudah menanti di tepi laut langsung menghampiri. “150 ringgit (sekira Rp 450 ribu) ke Sei Nyamuk. Kalau mau ayo berangkat, kalau tak, tak usah lama-lama disini,” ujar salah satu joki. Sei Nyamuk adalah sejenis muara, tempat masuk perahu-perahu yang membawa penumpang ke Pulau Sebatik, Indonesia.

Begitu bersedia membayar, sekejap itu juga tas dan barang bawaan langsung disambar dan dilemparkan ke dalam perahu. Saya menyusul masuk secepatnya. Perahu kayu berjalan pelan-pelan menuju lautan yang lebih dalam. Sesekali pengemudi berhenti untuk melihat kondisi kiri kanan. Jika ada penampakan petugas sekelebat saja, sang pengemudi bersikeras, kami harus kembali ke Tawau.

Sampai di laut yang lebih dalam, kami dipindahkan lagi ke speedboat yang juga hanya bisa menampung empat penumpang, namun terkadang ada juga yang bisa memuat belasan orang. Dari sini, tak ada kata kembali. Hanya ada dua pilihan: sampai ke Indonesia, atau tertangkap petugas patroli laut.

Tak lama setelah kami naik ke speedboat berukuran tak lebih dari tiga meter itu, selepas pengemudi melirik kiri-kanan, mesin langsung digeber. Laut bulan Juni yang relatif tenang memungkinkan kami bergerak lurus dengan kecepatan setara kira-kira 150 kilometer per jam ke arah tenggara dari pelabuhan. Di sebelah timur, matahari pelan-pelan mulai naik.

Digeber demikian kencang, mesin speedboat harus kerap-kerap diawasi. Ada seorang awak speedboat, masih remaja jika dilihat dari perawakannya, bertugas mengawasi mesin. Tepat di tengah laut di antara kedua negara, speedboat harus berhenti sebentar untuk mendinginkan mesin. Pengemudi terus awas melihat ke segala arah. Bisa saja tanpa peringatan, perahu-perahu polisi laut menyergap.

Kondisi aman, perahu dipacu lagi. Semakin dekat ke Tanah Air, semakin kencang dia. Hanya sekitar 15 menit dari pelabuhan, kami akhirnya tiba di perbatasan. Di sana, ada pos TNI Angkatan Laut dari kayu yang didirikan di tengah laut. Ada seseorang dengan perawakan tegap berdiri di teras pos tersebut. Kaus hijau tuanya tak menyembunyikan dia punya otot-otot tangan. Potongan rambutnya cepak.

Tak perlu banyak cakap untuk melintasi pos tersebut. Pengemudi menepi ke arah pos, melambaikan tangan ke petugas di pos, “Ini ada kawan, tak bawa barang-barang,” kata dia sembari berteriak. Petugas dengan tatapannya meneliti kami, para penumpang, sebentar, dan dengan isyarat tangan memperbolehkan masuk. Kami sudah di Tanah Air.

Menurut kesaksian para pekerja di Sabah, sebenarnya perjalanan lewat “samping” ke Sei Nyamuk juga tak seberapa berbahaya juga kalau dilakukan siang hari. Petugas patroli kedua negara tak pernah benar-benar ketat memeriksa para penumpang. Setiap hari, sang pengemudi speedboat yang saya naiki dari Tawau mengatakan ia bisa membawa sampai dua puluh orang dari Indonesia ke Malaysia dari jalur tak resmi. Kebanyakan tak memiliki surat-surat.

Meski warga Sebatik dan Tawau memang dapat keringanan saling kunjung tanpa pemeriksaan ketat, bagian timur Malaysia juga sejak lama telah jadi salah satu pusat penempatan TKI ilegal. Puluhan ribu bekerja di kebun-kebun sawit di lokasi-lokasi terpencil. 

Tak sedikit dari TKI-TKI ilegal tersebut kawin-mawin dan beranak pinak di enclave-enclave di tengah kebun. Anak-anak tersebut, sebagian nantinya dipekerjakan lagi di kebun sawit. 

Saat saya sambangi, mereka mengaku tak punya akses kesehatan dan pendidikan layak. Tak sedikit juga yang menuturkan bahwa paspornya ditahan perusahaan. Faktor-faktor tersebut membuat datang dan kabur melalui jalur ilegal jadi pilihan saat kondisi kerja kian tak terperi.

Kabur dan datang lewat jalur tak resmi memang bukan perkara yang sulit betul. Dan, jalur serupa tak hanya di Tawau, bahkan tak hanya di Malaysia Timur. Jalur serupa juga marak di perairan Kepulauan Riau yang berbatasan dengan semenanjung Malaysia di bagian barat. Meski begitu, ia juga bukan tanpa konsekuensi. Bukan saja ancaman cambuk petugas Malaysia atau penjara di Tanah Air, tapi juga kematian.

Belakangan, kejadian tenggelamnya perahu-perahu dan kapal tak berijin di perairan perbatasan Indonesia-Malaysia seperti bukan lagi kejadian langka. Sejak September 2015, sedikitnya enam kali kejadian itu berulang. Total korban meninggal mencapai 201 orang.

Belum sampai sebulan lalu, pada 22 Januari 2017, sebanyak 41 WNI, sebagian di antaranya anak-anak, juga meninggal akibat perahu yang mereka naiki tenggelam di perairan Tanjung Rhu, Johor, Malaysia. Sebagian besar yang berpulang juga merupakan TKI ilegal.

Pada 3 September 2015, 64 TKI ilegal meninggal tenggelam di perairan Sabah Bernam, Selangor, Malaysia. Kemudian pada 27 Januari 2016, 18 TKI ilegal meninggal tenggelam di perairan Pantai Kelise, Kota Tinggi, Johor, Malaysia.

23 Juli 2016, sebanyak 13 TKI ilegal dan 1 bayi meninggal tengelam di kawasan Pantai Batu Layar, Kota Tinggi, Johor, Malaysia. Sementara pada 2 November 2016, 52 TKI ilegal 1 anak, 1 bayi meninggal tengelam di perairan Nongsa, Kepulauan Riau. 

Pihak TNI AL menuturkan bahwa mereka sudah memperketat pengawasan di perbatasan laut. Bagaimanapun, kejadian di Tawau pekan lalu menunjukkan bahwa lalu-lintas ilegal di laut masih berlanjut. Sementara pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menilai akar masalahnya ada juga di Tanah Air. Di antaranya melalui keberadaan para calo dan ketiadaan kesempatan kerja, terutama  bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, di Tanah Air.

Bagaimanapun alasan pihak-pihak yang punya kewenangan, harus diingat bahwa angka-angka terkait TKI ilegal yang nekat menyeberangi laut bukan sekadar statistik. Mereka juga manusia-manusia dengan kisah masing-masing. Mereka adalah ayah, ibu, saudara-saudari, dan putra-putri terkasih dari sanak di Tanah Air. Bisa jadi tak sekadar berniat melanggar hukum tapi juga karena tak punya jalan lain untuk penghidupan yang lebih layak. Kematian-kematian di laut ini harus disudahi dan dipikirkan serius pencegahannya dengan segera. Dua ratus orang sudah terlalu banyak. []

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement